News

BMKG Sebut 2023 sebagai Tahun Terpanas, Ini Penyebabnya

Binti Mufarida 23/06/2024 10:46 WIB

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebut tahun 2023 sebagai tahun terpanas. Kok bisa?

BMKG Sebut 2023 sebagai Tahun Terpanas, Ini Penyebabnya (foto ist)

IDXChannel - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebut, suhu permukaan bumi meningkat sangat cepat setiap tahunnya, sehingga berdampak buruk pada kehidupan manusia dan seluruh mahluk hidup.
 
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati mengatakan, berdasarkan laporan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), suhu permukaan global telah meningkat dengan cepat, dengan rata-rata tahunan mencapai 1,45 derajat Celcius pada 2023 dibandingkan dengan baseline setelah era Revolusi Industri. 

Padahal di 2020, menurut laporan WMO tentang keadaan iklim global, kenaikan rata-rata suhu global adalah 1,2 derajat celcius. Hal ini berarti hanya dalam beberapa tahun, ada peningkatan suhu permukaan yang signifikan.
 
"Tahun 2023 tercatat sebagai tahun terpanas, dan informasi ini hanya dapat diperoleh melalui pengamatan sistematis untuk fenomena kebumian. Tanpa pengamatan kebumian yang sistematis, informasi yang diberikan bisa menyesatkan atau salah," ucap Dwikorita dalam keterangan resminya, dikutip Minggu (23/6/2024).

Dwikorita mengatakan, pengamatan sistematis sangat dibutuhkan untuk berbagai keperluan. Di antaranya, untuk memberikan data dukung dalam aksi adaptasi iklim, aksi mitigasi iklim, atau keputusan atau kebijakan apapun terkait mitigasi dan adaptasi iklim.

Oleh karena itu, dia meminta agar pengamatan sistematis perlu diikuti oleh tindakan sistematis di segala lini agar dampak panas ekstrem tersebut dan dampak perubahan iklim lainnya dapat ditangani secara efektif. 
 
Dwikorita mencontohkan, agar informasi mengenai fenomena El Nino yang menyebabkan kenaikan panas laut yang meluas di Pasifik tropis bagian timur merupakan hasil pengamatan kebumian sistematis yang didukung juga oleh pemantauan satelit. 

Selain itu, prediksi Food and Agriculture Organization (FAO) mengenai ancaman krisis pangan pada 2050 juga merupakan hasil dari pengamatan kebumian yang sistematis secara global, nasional, dan lokal. 

Singkatnya, kata Dwikorita, pengamatan sistematis tersebut, memungkinkan seluruh negara di dunia untuk melakukan analisis dan prediksi lebih lanjut. 


"Analisis masa lalu merupakan cara untuk memvalidasi dampak dari peningkatan suhu yang berlangsung dan kondisi Bumi kekinian. Selanjutnya, pada analisisi lebih lanjut yang didasarkan pada data pengamatan sistematis dapat diketahui bahwa ternyata perubahan iklim memberi tekanan pada sumber daya air yang sudah langka, menghasilkan hotspot air. Nah, hal ini dapat ditangkap dan dianalisis lagi berdasarkan pengamatan sistematis," paparnya. 
 
Dwikorita menegaskan, peningkatan suhu global tidak dapat dianggap sepele. Tidak hanya berdampak pada suhu bumi yang makin panas, kondisi tersebut juga meningkatkan frekuensi bencana hidrometeorologi, kekeringan, buruknya kualitas udara, kebakaran hutan dan lahan, gelombang panas, risiko kesehatan, penurunan kualitas hidup, hingga ancaman kelangsungan hidup spesies di bumi. 

"Situasi tersebut, pada akhirnya akan menganggu stabilitas perekonomian dan politik dunia," ujarnya.

(FAY)

SHARE