News

Jabodetabek Diguyur Hujan Lebat saat Musim Kemarau, Simak Penjelasan BMKG

Binti Mufarida 08/07/2024 16:20 WIB

Dwikorita pun menjelaskan mengapa hujan terjadi di wilayah Jabodetabek, bahkan dengan intensitas lebat.

Jabodetabek Diguyur Hujan Lebat saat Musim Kemarau, Simak Penjelasan BMKG. (Foto Tangkapan Layar)

IDXChannel - Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) diguyur hujan lebat selama sepekan terakhir. Padahal, saat ini dari prediksi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sebagian wilayah telah masuk musim kemarau.

“Kenapa kalau musim kemarau itu kriterianya adalah curah hujan yang kurang dari 50 mm dalam 10 hari. Tapi kenapa tanggal 6 Juli lalu, kok di wilayah Jabodetabek dan beberapa wilayah di Indonesia bagian barat justru mengalami hujan lebat? Apakah prediksi BMKG meleset?” kata Kepala BMKG Dwikorita mengawali Konferensi Pers: Hujan Lebat di Musim Kemarau, Senin (8/7/2024).

Dwikorita pun menjelaskan mengapa hujan terjadi di wilayah Jabodetabek, bahkan dengan intensitas lebat. “Nah ini yang harus kita jelaskan kenapa seperti itu di musim kemarau yang harusnya curah hujannya kurang dari 50 mm dalam 10 hari, kenapa terjadi hujan lebat,” ujarnya.

Dia mengatakan, wilayah Kepulauan Indonesia memiliki iklim utamanya yang dipengaruhi oleh Monsun, angin dari dua benua yakni Asia dan Australia. Hal ini yang menjadi penyebab bahwa musim kemarau terjadi selama beberapa bulan di Indonesia.

“Katakanlah bisa ada yang 4 bulan kemarau terus ya sampai 6 bulan, bahkan ada yang sampai 9 bulan. Jadi selama berbulan-bulan. Demikian juga musim hujan bisa terjadi selama beberapa bulan dari katakanlah 4 bulan sampai 6 bulan bahkan bisa lebih,” katanya.  

Namun, kata Dwikorita, karena wilayah Indonesia berada di antara dua Samudra, maka yang 'cawe-cawe' dalam mempengaruhi musim di Indonesia itu tidak sedikit, terutama bersumber dari Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. 

“Jadi yang berpengaruh ya, berpengaruh mungkin bahasa mudahnya yang cawe-cawe ya, jadi sebenarnya itu yang mengontrol yang berpengaruh,” kata dia.

“Misalnya La Nina, La Nina itu fenomena yang dipengaruhi oleh adanya suhu muka laut ya, mengakibatkan suhu muka laut yang ada di Samudra Pasifik ya, di Samudra Pasifik yang mengakibatkan atau berdampak pada wilayah Indonesia dengan meningkatnya curah hujan seperti yang terjadi di tahun 2020, 2021, dan 2022,” ujarnya.

Dwikorita menegaskan, pada saat itu terjadi anomali iklim yang harusnya musim kemarau dari pengaruh monsun Australia namun ada pengaruh dari Samudra Pasifik sehingga musim kemarau di tahun 2020 hingga 2022 adalah kemarau basah.

“Karena ada peningkatan curah hujan di wilayah Indonesia akibat fenomena La Nina, anomali iklim yang dikontrol oleh Samudra Pasifik. Sehingga musim kemaraunya saat itu adalah kemarau basah. Bahkan sering terjadi cuaca ekstrem berkali-kali di sepanjang musim kemarau,” ujarnya.

Sebaliknya, kata Dwikorita, bisa juga musim kemarau tapi kemaraunya sangat kering dan berkepanjangan seperti tahun lalu. Hal ini dipengaruhi oleh El Nino dimana ada perbedaan suhu muka air laut di wilayah Samudra Pasifik terhadap wilayah suhu muka air laut di perairan Indonesia.

“Sehingga berdampak terjadinya kekeringan yang berkepanjangan. Demikian juga Samudra Hindia juga bisa mengakibatkan Indian Ocean Dipole (IOD) juga suhu muka air laut yang ada di Samudra Hindia, bisa berdampak mengakibatkan wilayah Indonesia menjadi lebih kering dari rata-rata klimatologinya, sehingga curah hujannya menjadi meningkat sama, bisa,” ujarnya.

(YNA)

SHARE