Jadi Perhatian Dunia, Ini Penyebab Sirop Obat Batuk India Sebabkan Kematian
Pemangku kepentingan di sektor kesehatan meningkatkan kewaspadaan terhadap sirop obat batuk untuk anak-anak yang diproduksi di India.
IDXChannel – Pemangku kepentingan di sektor kesehatan meningkatkan kewaspadaan terhadap sirop obat batuk untuk anak-anak yang diproduksi di India. Itu karena banyak anak meninggal dunia usai mengonsumsi obat tersebut.
Peristiwa tersebut dimulai pada akhir 2019 ketika muncul penyakit misterius yang menjangkiti anak-anak di wilayah Jammu, India. Dokter memberikan obat batuk sirop dengan harapan penyakit itu bisa mereda.
Namun yang terjadi justru semakin parah hingga menyebabkan muntah, demam tinggi, kerusakan ginjal, bahkan kematian. Saat itu, sebanyak 11 anak dengan rentang usia dua bulan sampai enam tahun dinyatakan wafat akibat obat tersebut.
Dilansir dari BBC pada Senin (17/10/2022), lembaga kesehatan melakukan pengujian dan ditemukan bahwa tiga sampel sirop obat batuk, yang dibuat oleh perusahaan obat India bernama Digital Vision, mengandung dietilen glikol atau DEG.
DEG merupakan pelarut industri yang digunakan dalam pembuatan cat, tinta, hingga minyak rem. Zat tersebutlah yang menyebabkan gagal ginjal.
Pada awal Oktober, WHO telah mengeluarkan peringatan terhadap empat obat batuk sirop buatan India yang diduga telah merenggut 66 nyawa anak-anak di Gambia. Analisis laboratorium terhadap sampel sirop yang dibuat oleh perusahaan berusia 32 tahun bernama Maiden Pharmaceuticals Limited mengonfirmasi adanya "jumlah yang tidak dapat diterima" dari dietilen glikol dan alkohol beracun lain yang disebut etilen glikol.
Obat-obatan yang tercemar dan kematian tragis membawa perhatian terhadap pendapatan industri manufaktur obat India yang mencapai USD42 miliar, setengahnya berasal dari ekspor.
Terdapat 10.000 pabrik farmasi yang dioperasikan oleh 3.000 perusahaan. Pabrik itu difungsikan sebagai pembuat obat generik (salinan obat-obatan bermerek yang biasanya dijual dengan harga yang lebih murah), obat-obatan yang dijual bebas, vaksin, dan bahan-bahan di tempat yang merupakan salah satu negara pembuat obat terbesar di dunia.
Meski begitu, India masih mengimpor sebagian besar bahan kimia dari China, dan karena ini India masih berusaha membuat lebih banyak dari dalam negeri. Perdana Menteri Narendra Modi telah memperjuangkan India sebagai "apotek dunia".
Keahlian tradisional India dalam membuat obat generik telah membantu menjadikannya produsen obat berbiaya rendah yang tangguh dan menjadi basis manufaktur global.
Hal ini didukung oleh sekitar 40% obat generik yang dijual di AS dan seperempat bagian di UK berasal dari India. Negara tersebut juga memasok sekitar dua pertiga obat anti-retroviral secara global untuk memerangi HIV.
Di luar AS, India memiliki jumlah pabrik pembuatan obat terbanyak, hingga mencapai 800, yang sesuai dengan persyaratan kesehatan dan keselamatan AS.
Namun pertumbuhan lebih dari 9% setiap tahun selama hampir satu dekade telah dikaburkan oleh tuduhan masalah kualitas dan regulasi yang lemah. Banyak yang percaya bahwa India selalu menjadi produksi obat palsu yang sebagian besar dijual di kota-kota kecil dan desa-desa.
Tetapi para analis mengatakan para dokter dan pasien mungkin menggabungkan obat-obatan di bawah standar dengan apa yang mereka anggap sebagai obat palsu. Laboratorium pengujian obat yang dikelola negara di banyak negara bagian kekurangan dana, kekurangan staf, dan tidak dilengkapi fasilitas yang memadai.
Analis bahkan menyebut pengawasan dan penegakan peraturan tidak terlalu jelas. Pada tahun 2014, regulator obat top India terkenal mengatakan kepada sebuah surat kabar: "Jika saya mengikuti standar AS, saya harus menutup hampir semua fasilitas obat."
Akibat dari obat-obatan yang mengandung DEG sejak 1972, telah lebih dari 70 orang meninggal dengan kebanyakan korban merupakan anak-anak dalam insiden keracunan.
Pada tahun 2013, setelah penyelidikan selama tujuh tahun, pembuat obat top India Ranbaxy Laboratories diperintahkan untuk membayar rekor denda USD500 juta di AS, yang terbesar diserahkan kepada pembuat obat generik untuk pembuatan, penyimpanan, dan pengujian obat yang tidak tepat.
Penelitian oleh Dinesh Thakur, mantan eksekutif obat India yang berubah menjadi pakar kesehatan masyarakat, menemukan.bahwa antara tahun 2007 sampai 2020, tedapat lebih dari 7.500 obat yang diambil sampelnya hanya tiga dari 28 negara bagian dan tiga wilayah persatuan India telah gagal dalam uji kualitas dan telah dinyatakan sebagai obat "tidak berkualitas standar" atau lebih rendah.
Obat-obatan ini gagal dalam tes karena tidak memiliki cukup bahan kimia dan kemampuan untuk larut dalam darah pasien atau ditemukan terkontaminasi.
Thakur, rekan penulis The Truth Pill, memiliki pandangan tajam tentang regulasi obat di India menyebutkan "Jumlah total pasien yang terkena obat inferior seperti itu mungkin mencapai ratusan ribu, mungkin jutaan selama dekade terakhir," ujarnya dilansir dari BBC pada Senin (17/10/2022).
Hal ini menandakan setiap sampel yang gagal biasanya mewakili sejumlah obat, yang pada gilirannya dapat mencapai ratusan ribu tablet, kapsul, dan suntikan.
Thakur juga khawatir kalau banyak perusahaan India tidak mengikuti "praktik manufaktur yang baik" atau GMP, istilah industri obat untuk merujuk pada pengujian untuk kontrol kualitas.
Dia percaya bahwa insiden terkait DEG telah terjadi di dalam negeri - dan sekarang di luar negeri - karena beberapa perusahaan sering gagal menguji bahan baku atau formulasi akhir sebelum mengirimkannya ke pasar.
"Mengingat banyaknya kualitas obat yang terdeteksi sebagai -bukan kualitas standar- selama dekade terakhir dari pasar terbuka, jelas bahwa sejumlah besar fasilitas manufaktur benar-benar mengabaikan prosedur kontrol kualitas dan proses yang membentuk inti dari 'praktik manufaktur yang baik'" kata Thakur.
Dari sisi lain, dokter mengatakan mereka sebagian besar mempercayai obat-obatan buatan India karena banyak pabrik obat India memang kelas dunia. Dr. Rahul Baxi, seorang ahli diabetologi yang berbasis di Mumbai, mengatakan kepada Soutik Biswas bahwa hanya sekali dalam beberapa tahun terakhir dia menjadi curiga tentang obat ketika kadar glukosa seorang pasien melonjak setelah dia beralih dari obat bermerek ke obat generik yang lebih murah.
Tetapi dia menduga bahwa mungkin ada obat palsu atau inferior yang dijual di kota-kota kecil dan desa-desa. "Banyak pasien saya yang berasal dari bagian India yang jauh membeli enam bulan obat yang diresepkan dari apotek di kota karena mereka mengatakan mereka tidak mempercayai obat-obatan yang tersedia di daerah mereka," kata dr. Baxi.
Setelah kematian anak-anak di Gambia, India mengklaim bahwa regulator federal mencari lebih lanjut bersama WHO tentang kausalitas kematian akibat sirop obat batuk yang diekspor.
Seorang juru bicara mengatakan kebijakannya memastikan bahwa "perusahaan obat harus memenuhi standar ketat FDA untuk memproduksi obat-obatan bagi pasien AS yang berkualitas tinggi, aman, dan efektif.
Food and Drug Administration (FDA), yang mengatur produk medis di AS, telah memposting status inspeksi perusahaan yang memasok obat-obatan ke AS dan surat peringatan.
Seorang pemimpin industri farmasi yang meminta disembunyikan identitasnya, mengatakan bahwa meskipun beberapa negara memang memiliki standar kualitas yang sangat kaku, obat-obatan India benar-benar aman.
"Kami tidak membela kecelakaan itu, tetapi ini adalah penyimpangan,” ujarnya.
Thakur mengatakan penyimpangan seharusnya hanya terjadi sekali. “Anda tidak bisa bermain-main dengan kehidupan orang,” tegasnya.
(FRI/Penulis: Ahmad Fajar)