News

Menkes Budi Ungkap Alasan Tarif BPJS Kesehatan Perlu Direvisi

Binti Mufarida 11/02/2025 15:03 WIB

Biaya pembayaran asuransi di Indonesia setiap tahunnya masih kecil. Bahkan, belanja kesehatan baru 32 persen setiap tahunnya yang dikeluarkan lewat asuransi.

Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan alasan mengapa tarif iuran BPJS Kesehatan perlu direvisi. (MNC Media)

IDXChannel - Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan alasan mengapa tarif iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan perlu direvisi.

Menurutnya, biaya pembayaran asuransi di Indonesia setiap tahunnya masih kecil. Bahkan, dia mengatakan belanja kesehatan baru 32 persen setiap tahunnya yang dikeluarkan lewat asuransi.

“Jadi baru 32 persen dari belanja kesehatan setiap tahunnya itu dikeluarkan lewat asuransi itu harusnya naik sampai 80 persen hingga 90 persen sehingga kita bisa memiliki tenaga untuk mendorong balik agar harga yang dikasih supply side itu reasonable,” kata Budi dalam Rapat Kerja bersama Komisi IX DPR RI, Selasa (11/2/2025).

Kemudian, kata Budi, bahwa belanja kesehatan yang besar dalam 10 tahun mendatang bisa menyebabkan permasalahan anggaran. Apalagi, kesehatan menjadi prioritas masyarakat saat ini.

“Kalau ini enggak dikontrol dalam 10 tahun ke depan Menteri Kesehatan, Menteri Keuangan akan problem karena ini akan menjadi isu politik yang sangat tinggi karena kesehatan dan kematian itu kan tinggi prioritasnya di masyarakat, kan masyarakat enggak mau meninggal gitu kan. Lebih baik miskin daripada meninggal,” kata dia.

Pada kesempatan itu, Budi juga menjelaskan bahwa salah satu masalah besar dalam pembiayaan kesehatan adalah tidak seimbangnya kenaikan belanja dengan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (GDP).

Dia menggambarkan kondisi ini seperti meminta kenaikan belanja yang selalu lebih tinggi dari kenaikan gaji, yang akhirnya tidak berkelanjutan.

“Kita dulu selalu telat dua tahun untuk mereview belanja kesehatan nasional, itu seperti apa sekarang kita sudah dengan bantuan World Bank setiap tahun kita lakukan track berapa total belanja nasional sekarang tuh Rp614 triliun setiap tahun yang harus dikeluarkan oleh sistem," katanya.

"Yang saya mau kasih catatan di sini, persentase ini yang kita mesti hati-hati. Bahwa pertumbuhan belanja nasional itu selalu di atas pertumbuhan GDP, itu akibatnya itu tidak sustain,” katanya.

Selain itu, Budi menyoroti inflasi tinggi dalam layanan kesehatan di Indonesia, yang terjadi karena informasi yang tidak simetris antara penyedia layanan dan pasien.

Hal ini menyebabkan perbedaan harga yang sangat besar antara Puskesmas, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD), dan Rumah Sakit Swasta. Bahkan, harga obat-obatan di Indonesia bisa mencapai 300 hingga 400 persen lebih tinggi dibandingkan dengan negara tetangga, Malaysia.

“Orang bisa disunat misalnya di Puskesmas Rp500.000 kalau naik RSUD bisa Rp1 juta harganya bisa 100 persen, Rumah Sakit Swasta Rp5 juta bisa 1000 persen. Obat-obatan harganya bisa 400-300 persen di atas Malaysia," kata Budi.

"Ini adalah contoh-contoh di mana layanan kesehatan itu inflasinya tinggi sekali karena memang informasinya tidak simetris ini banyak dikontrol dikendalikan oleh supply side. Jadi para-para penyedia kesehatan, tenaga medis dan kesehatan rumah sakit karena kita kan kalau sakit orang enggak ngerti juga,” lanjut dia.

Dia pun kembali menekankan bahwa revisi tarif BPJS Kesehatan diharapkan akan tercipta sistem yang lebih seimbang, berkelanjutan, dan dapat memberikan manfaat yang lebih besar bagi seluruh masyarakat Indonesia.

“Sehingga untuk itu kita mau merevisi tarifnya supaya ini balance, ini harus balancing jadi yang dokter Rumah Sakit ya happy tapi masyarakat juga happy yang diwakili oleh BPJS untuk menekan balik,” katanya.

(Nur Ichsan Yuniarto)

SHARE