Pemerintah Didesak Terbitkan RUU Penilai demi Lindungi Profesi dan Cegah Kebocoran APBN
Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) mendesak pemerintah segera menerbitkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penilai.
IDXChannel — Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) mendesak pemerintah segera menerbitkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penilai. Regulasi ini diperlukan untuk memberikan payung hukum bagi profesi penilai yang rentan terhadap intervensi dan manipulasi data, yang dapat merugikan perekonomian nasional.
Ketua Umum Dewan Pengurus Nasional MAPPI, Budi Prasodjo mengatakan, saat ini profesi penilai terlibat dalam berbagai peraturan perundangan. Sebut saja UU Pasar Modal yang mewajibkan penilaian independen untuk aset perusahaan, UU Perbankan untuk penilaian agunan debitur, hingga pengadaan tanah untuk kepentingan publik di sektor infrastruktur. Sayangnya, regulasi tersebut hanya menempatkan penilai sebagai pengguna, tanpa memberikan perlindungan spesifik untuk profesi ini.
“Jasa penilai sudah menyangkut di banyak undang-undang, tapi yang khusus mengatur penilai, itu yang tidak ada, hanya ada Peraturan Menteri Keuangan,” ujar Budi dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (26/5/2025).
Wakil Sekretaris I DPN MAPPI, Dedi Susanto menuturkan, ketiadaan payung hukum berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi pembangunan dan ekonomi nasional, termasuk risiko kebocoran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Misal nilai pengadaan tanah itu lebih dari Rp4.000 triliun sekitar 5-10 tahun ini, itu secara subjektif, mungkin diperkirakan hampir 30 persen terjadi kehilangan di tengah jalan, karena tidak efisiennya proses yang dilakukan ditengah jalan dalam proses pengadaan tanah,” katanya.
Dia menyoroti rendahnya pendapatan negara dari pajak properti akibat ketidaksesuaian antara nilai aset yang dinilai dan pajak yang dibayarkan. Kalau saja masalah pajak properti bisa diselesaikan, tentunya akan terjadi efisiensi.
Dia juga mengungkapkan kerentanan profesi penilai terhadap intervensi karena minimnya perlindungan hukum.
“Jadi kalau Indonesia punya penilai dengan kapabilitas terpercaya, misal wartawan cari berita, dilindungi oleh UU, ada prosesnya kalau dia ditekan, bisa dilapor. Tapi kalau kami tidak, misal minta data dengan klien kita, dikasih alhamdulillah, tidak ya sudah, tidak ada perlindungan. Kalau di Malaysia tidak bisa, penilai periksa, tidak kasih data, Anda bisa dipenjara, karena menghalangi kerja penilai,” kata Dedi.
Dia menambahkan, praktik manipulasi nilai aset masih sering terjadi. Misalnya, harga aset yang tadinya Rp1 miliar bisa menjadi Rp10 miliar. Karena itu, MAPPI berharap RUU Penilai dapat segera terwujud untuk memberikan kepastian hukum, meningkatkan transparansi, dan mencegah potensi kerugian negara di masa depan.
(Ahmad Islamy Jamil)