News

Pemilu di Eropa dan Menguatnya Politik Kanan Ekstrem

Ahmad Islamy 28/12/2024 19:37 WIB

Pemilu di Eropa tahun ini perlu untuk dicermati bersama, mengingat adanya pergeseran lanskap politik yang cukup signifikan ke arah kanan dan ekstrem kanan.

Ilustrasi pemilihan umum untuk amggota Parlemen Eropa. (Foto: Istimewa)

IDXChannel – Tahun ini mungkin boleh disebut sebagai tahun politik penting secara global. Hal itu ditandai dengan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) di sejumlah negara dan kawasan penting di berbagai belahan dunia.

Indonesia sendiri menyelenggarakan pemilihan anggota legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres) secara serentak pada Februari lalu. Dan belum lama ini, kompetisi demokrasi kembali dilanjutkan dengan diadakannya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 pada November lalu.

Selain Indonesia, ada sejumlah negara di Asia dan Afrika yang juga mengadakan pemilu tahun ini, seperti India (pileg), Pakistan (pileg), Bangladesh (pileg), Korea Selatan (pileg), Madagaskar (pileg) dan Afrika Selatan (pileg). Sementara di benua Eropa dan Amerika, pemilu juga diadakan tahun ini antara lain di Inggris (pileg), Prancis (pileg), Austria (pileg) Amerika Serikat (pilpres dan pileg), hingga Rusia (pilpres).

Yang tak boleh ketinggalan adalah Pemilihan Parlemen Eropa (Uni Eropa) yang digelar pada 6-9 Juni 2024. Pemilu tersebut, seperti juga pemilu Prancis (2024) dan Belanda (2023) menjadi perlu untuk dicermati bersama, mengingat adanya pergeseran lanskap politik yang cukup signifikan ke arah kanan dan ekstrem kanan. 

Secara sederhana, haluan politik kanan diartikan sebagai ideologi atau kebijakan politik yang menekankan pada nilai-nilai konservatif, kebebasan ekonomi, individualisme, dan menjunjung tinggi tradisi. Sementara ekstrem kanan adalah varian radikal dari haluan kanan yang mengusung pandangan otoritarian, nasionalisme yang berlebihan atau ekstrem, anti terhadap orang asing (xenofobia), dan bahkan anti-demokrasi. 

Seperti dilansir Euronews pekan ini, hasil pemilu di Eropa pada 2024 menunjukkan pergeseran yang jelas ke arah kanan dan ekstrem kanan. Pergeseran tersebut tampaknya memiliki akar yang sama di beberapa negara.

Profesor ilmu politik di Université libre de Bruxelles (ULB), Pascal Delwit, mengatakan kepada Euronews bahwa tren ini terjadi karena meningkatnya daya tarik partai-partai sayap kanan yang radikal di mata para pemilih Eropa. Dia menjelaskan, banyak pemilih merasa diabaikan dan percaya bahwa mereka dibiarkan berjuang sendiri.

“Para pemilih ini juga mengungkapkan kekhawatiran tentang imigrasi. Beberapa dari mereka merasa bahwa arus migrasi sekarang terlalu besar dan berkontribusi terhadap rendahnya upah (yang mereka terima di tempat kerja),” kata Delwit.

Dia pun merasa yakin bahwa fenomena penguatnya politik berhaluan kanan di Eropa bukanlah sebuah tren jangka pendek, melainkan gerakan politik yang telah berkembang selama hampir dua dekade.

“Ini adalah gerakan yang telah berkembang selama hampir dua puluh tahun, dan menunjukkan tren peningkatan yang stabil. Partai-partai sayap kanan yang lebih radikal berada di pemerintahan atau mendukung pemerintahan tertentu,” tuturnya.

Pada Pemilihan Parlemen Eropa Juni lalu, Partai Rakyat Eropa (EPP) yang berhaluan kanan-tengah berhasil meraih 188 dari 720 kursi di Parlemen Eropa. Partai tersebut disusul oleh Partai Sosial Demokrat (S&D) yang berhaluan kiri-tengah dengan 136 kursi, dan; kelompok Patriots for Europe yang berhaluan kanan-jauh atau kanan ekstrem, yang memperoleh 84 kursi.

Hasil tersebut secara nyata telah menggeser spektrum politik ke arah kanan dan ekstrem kanan. Mayoritas anggota Parlemen Eropa kini berada di sisi kanan lingkaran tersebut, termasuk Partai Rakyat Eropa (EPP), Kelompok Konservatif dan Reformis Eropa (ECR), serta Patriots for Europe.

Tanpa satu pun mayoritas politik di Parlemen Eropa, EPP kini memiliki daya tawar signifikan untuk membentuk aliansi dengan Partai Sosial Demokrat, Partai Liberal, dan bahkan partai sayap kanan radikal. Pemimpin eksekutif Uni Eropa yang baru, yang mulai menjabat per 1 Desember lalu, juga condong ke kanan. Sebanyak 12 dari 27 Komisaris Eropa, termasuk Presiden Ursula von der Leyen, secara resmi berafiliasi dengan EPP.

Hasil pemilu nasional di beberapa negara Eropa

Selain Pemilihan Parlemen Eropa, kubu kanan dan sayap kanan ekstrem juga memperoleh kemenangan signifikan dalam beberapa pemilu nasional di seluruh benua biru. Di Austria, Herbert Kickl dari kubu sayap kanan ekstrem FPÖ memimpin pemilu parlemen bulan September dengan 29 persen suara. Capaian tersebut menjadi hasil pemilu terbaik bagi kubu sayap kanan ekstrem di negara itu sejak berakhirnya Perang Dunia II.

Di Belgia, partai konservatif Flemish N-VA menduduki puncak pemilihan parlemen pada Juni, diikuti oleh partai sayap kanan Flemish Vlaams Belang. Setelah enam bulan berlalu, lobi-lobi politik masih belum mampu menghasilkan pembentukan pemerintah federal di kerajaan itu.

Berikutnya di Portugal, lanskap politik juga bergeser ke kanan ketika oposisi kanan-tengah, yang dipimpin Luis Montenegro dari Aliansi Demokratik, memenangkan pemilihan anggota parlemen pada Maret.

Dan mungkin yang paling menarik adalah Pemilu Prancis 2024. Hasil kompetisi demokrasi di negeri Napoleon itu membawa National Rally (RN) yang berhaluan kanan ekstrem memimpin perolehan suara terbanyak dalam Pemilihan Parlemen Eropa. Partai anti-Islam pimpinan Jordan Bardella itu berhasil meraup lebih dari 31 persen suara sah nasional. 

RN juga memimpin putaran pertama Pemilihan Parlemen Prancis yang dipercepat, dengan mengantongi lebih dari 29 persen suara. Akan tetapi, Republican Front, koalisi dari Nouveau Front Populaire (NFP) yang berhaluan kiri dan kaum sentris pimpinan Presiden Emmanuel Macron berhasil menghalangi jalan RN menuju kekuasaan di putaran kedua pemilu.

Menurunnya pengaruh kiri

Meskipun partai-partai kiri telah kehilangan pengaruh di seluruh Eropa, mereka mampu berkuasa di Denmark, Spanyol, Lithuania, Malta, Rumania, Slovenia, dan Slowakia. 

Di Inggris, Partai Buruh justru keluar sebagai pemenang pemilu tahun ini. Mereka berhasil merebut kekuasaan dari Partai Konservatif dan mengantarkan pemimpinnya, Keir Starmer, menjadi perdana menteri negara itu. Kendati demikian, untuk pertama kalinya Nigel Farage, pemimpin berhaluan kanan radikal yang anti-imigran meraup banyak suara dan berhasil melenggang ke parlemen.

Di Rumania, kubu kiri berhasil memenangkan pemilihan legislatif meskipun kubu kanan ekstrem juga menunjukkan hasil yang kuat. Namun, hasil pilpresnya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi Rumania di tengah tuduhan campur tangan Rusia yang mendukung kandidat nasionalis, Călin Georgescu.

Semua mata kini tertuju pada Jerman, di mana runtuhnya koalisi Kanselir Olaf Scholz (Partai Sosial Demokrat). Menurut perkiraan, kondisi itu bakal menyebabkan pemilihan umum lebih awal pada akhir Februari. Pemilu tersebut dapat menjadi tanda titik balik penting untuk 2025.

Tren menguatnya politik sayap kanan dan ekstrem kanan di Eropa patut menjadi perhatian bersama oleh para pemimpin internasional. Seperti kita ketahui, para penganut dan pengikut ideologi tersebut sering kali menggunakan retorika yang memecah belah masyarakat dan dunia berdasarkan etnik, agama, ataupun pandangan politik. Hal itu pada gilirannya dapat meningkatkan ketegangan dan potensi konflik antarkomunitas.

Beberapa gerakan ekstrem kanan juga menjadi ancaman bagi demokrasi. Sebab, mereka cenderung menolak prinsip-prinsip demokrasi seperti kebebasan pers, pluralisme, dan independensi institusi.

Mereka juga getol mengadvokasi kebijakan yang keras terhadap imigrasi. Sikap xenofobia yang mereka tunjukkan juga menyebabkan kaum muslim menjadi sasaran penindasan di negara-negara Barat. Kita harus belajar dari kerusuhan anti-Islam yang terjadi di Inggris pascainsiden penikaman di Southport pada Juli lalu. ***  

(Ahmad Islamy Jamil)

SHARE