News

Profesor Korea: Indonesia Potensial Jadi Penjembatan Konflik Korut-Korsel

Ahmad Islamy 08/02/2025 12:34 WIB

Konflik nuklir Korea Utara (Korut) terus menjadi salah satu isu panas global, terutama di kawasan Asia Timur.

Kuliah umum dengan topik konflik Korut-Korsel oleh Profesor Jae Hyeok Shin di Kampus UI, Depok, Kamis (6/2/2025). (Foto: IDXChannel/Ahmad Islamy)

IDXChannel – Konflik nuklir Korea Utara (Korut) terus menjadi salah satu isu panas global, terutama di kawasan Asia Timur. Perseteruan Pyongyang dengan saudaranya, Korea Selatan (Korsel), yang sudah berlangsung puluhan tahun turut menyeret kekuatan lain seperti Amerika Serikat (AS).

Profesor Jae Hyeok Shin dari Department of Political Science and International Relations, Korea University, menuturkan, Indonesia bisa memainkan peran sebagai penjembatan dalam konflik Korut-Korsel. Ini karena Indonesia punya hubungan baik dengan dua Korea, dan juga dengan AS.

Untuk diketahui, di masa lalu Pemimpin Korut Kim Jong Un dan Presiden AS Donald Trump pernah tiga kali bertemu langsung untuk melakukan negosiasi nuklir. Pertemuan pertama berlangsung di Singapura pada 12 Juni 2018. Berikutnya, keduanya bertemu di Hanoi, Vietnam, pada 27-28 Februari 2019. Adapun pertemuan ketiga Kim dan Trump terjadi di Zona Demiliterisasi Korea (DMZ) (30 Juni 2019).

"Singapura dan Vietnam adalah dua negara Asia Tenggara. Jadi Asia Tenggara, termasuk Indonesia, punya peran besar dalam menjembatani konflik di Asia Timur," ujar Jae dalam kuliah umum bertajuk Contemporary Issues in Korean Politics: From North Korean Nuclear Weapons to Martial Law Crisis yang diselenggarakan Departemen Ilmu Politik FISIP UI di Depok, Kamis (6/2/2025).

Indonesia memang memiliki potensi sebagai mediator dalam upaya mendamaikan Korut dan Korsel. Pengalaman dari Asian Games 2018 menjadi salah satu contoh keberhasilan peran diplomasi soft power Indonesia.

Indonesia memiliki hubungan diplomatik yang kuat dengan Korut dan Korsel, tidak seperti banyak negara lain yang lebih condong ke salah satu pihak. Indonesia sudah menjalin hubungan dengan Korut sejak era Presiden Soekarno dan dengan Korsel sejak era Presiden Suharto.

Pada Asian Games 2018, kontingen gabungan Korea (Korut-Korsel) bertanding bersama dalam beberapa cabang olahraga seperti dayung dan bola basket putri. Pada upacara pembukaan event olahraga internasional tersebut, atlet dari kedua negara berparade di bawah satu bendera Korea Bersatu atau juga dikenal sebagai bendera Unifikasi Korea. Peristiwa itu semakin memperkuat citra Indonesia sebagai negara yang bisa menjembatani konflik.

Negosiasi nuklir dan uji coba rudal Korut

Konflik nuklir Korut sendiri berakar dari Perang Korea (1950–1953) yang mengakibatkan pembagian Semenanjung Korea. Pascaperang, Korut di bawah rezim Kim Il Sung mengembangkan program nuklir sejak 1980-an.

Pada mulanya, program senjata itu berjalan dengan bantuan Uni Soviet. Krisis pertama terjadi pada 1994 ketika Korut dituduh mengembangkan senjata nuklir, memicu kesepakatan Agreed Framework dengan AS untuk membekukan programnya. Namun, kesepakatan ini runtuh pada 2002 setelah Korut dituduh melanjutkan pengayaan uranium secara rahasia.

Pada 2006, Korut melakukan uji coba nuklir pertamanya, diikuti lima uji coba lain hingga 2017. Sanksi PBB diberlakukan, tetapi Korut terus meningkatkan kemampuan rudal balistiknya, termasuk rudal antarbenua (ICBM) yang bisa menjangkau AS. 

Upaya diplomasi seperti pertemuan Kim-Trump pada 2018-2019 berakhir dengan kebuntuan. Itu disebabkan oleh ketidaksepahaman soal denuklirisasi, kegagalan kompromi di Hanoi, tekanan politik domestik yang dihadapi Trump di AS, kurangnya kepercayaan, serta dinamika geopolitik. Setelah pertemuan terakhir di DMZ pada Juni 2019, hubungan Pyongyang-Washington yang sempat sedikit menghangat, kini kembali membeku. Negosiasi nuklir AS-Korut tidak mengalami kemajuan berarti hingga saat ini.

Sepanjang 2021–2024, Korut telah mempercepat uji coba rudal, termasuk rudal hipersonik dan rudal balistik antarbenua (ICBM). Tercatat ada lebih dari 100 uji coba senjata sejenis oleh Pyongyang sejak 2022.  

Pada 2022, rezim Kim Jong Un menegaskan kebijakan "nuklir pertama" dalam konstitusi Korut (2022), sembari menolak denuklirisasi. Ketegangan di Semenanjung Korea pun meningkat seiring dengan langkah AS dan Korsel yang memperkuat latihan militer bersama. Pada saat yang sama, Korut terus merapat ke Rusia dan China, memanfaatkan veto sanksi di DK PBB.  

Intelijen AS memperkirakan Korut memiliki 40–50 hulu ledak nuklir dan terus memproduksi bahan fisil. Hingga kini, isu nuklir Korut terus menjadi masalah yang kompleks karena faktor keamanan rezim Korut, kegagalan diplomasi, dan dinamika geopolitik global.

(Ahmad Islamy Jamil)

SHARE