Soal Wacana Tarif KRL Berbasis NIK, Pengamat: Sungguh Langkah Mundur
Wacana penetapan tarif KRL berbasis NIK dinilai sebagai bentuk kemunduran pembenahan sistem transportasi umum di Indonesia.
IDXChannel - Wacana penetapan tarif KRL berbasis NIK dinilai sebagai bentuk kemunduran pembenahan sistem transportasi umum di Indonesia. Sebab, tidak selaras dengan cita-cita penurunan emisi karbon.
Ketua Institut Studi Transportasi Ki Darmaningtyas menuturkan, wacana tersebut juga tidak serta merta bisa mengatasi kemacetan dengan mendorong masyarakat untuk menggunakan transportasi umum.
"Saya pribadi, lebih suka dan lebih mendukung subsidi transportasi daripada subsidi tepat sasaran. Karena jauh lebih banyak keuntungannya dibandingkan subsidi tepat sasaran," ujarnya saat dihubungi IDXChannel, Sabtu (31/8/2024).
Menurut Darmaningtyas, keuntungan subsidi tepat sasaran itu hanya dirasakan oleh golongan tidak mampu saja. Sedangkan subsidi transportasi keuntungannya dapat dinikmati oleh semua warga yang menggunakan angkutan umum.
Dengan begitu, polusi udara juga dapat dikurangi karena berkurangnya penggunaan kendaraan pribadi dan beralih menggunakan KRL atau transportasi umum lainnya.
"Kemacetan wilayah Jabodetabek juga dapat dikurangi karena sebagian motor dan mobil parkir di stasiun dan penggunanya melanjutkan perjalanan dengan menggunakan KRL. Anggaran negara mungkin juga bisa dihemat karena subsidi untuk BBM bisa ditekan," kata Darmaningtyas.
Sehingga, kata dia, wacana penetapan tarif KRL berbasis NIK merupakan suatu langkah mundur pemerintah.
"Sungguh langkah mundur dan tidak punya visi yang jelas bila pemerintah akan memberikan subsidi (harga khusus BBM bagi ojol), tapi akan menerapkan subsidi tepat sasaran untuk pengguna moda kereta api perkotaan," ujarnya.
Darmaningtyas menegaskan, jika pemerintah melalui Kementerian Perhubungan hendak mengurangi anggaran PSO untuk KRL agar tidak bebenani ruang fiskal, maka bisa untuk melakukan penyesuaian tarif KRL yang belum pernah naik sejak 2016.
Dengan menyesuaikan tarif KRL secepatnya, akan berdampak pada pengurangan subsidi dan menjaga layanan KRL menjadi lebih baik. Sebab, perusahaan memiliki cashflow yang cukup untuk beroperasi setiap harinya.
Menurutnya, Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) Kementerian Perhubungan sebelumnya juga sudah membuat perhitungan mengenai besarnya subsidi yang akan dapat dihemat dengan penyesuaian tarif Rp2.000 pada 15 km pertama.
"Kalau orang naik KRL sepanjang 15 km dan membayar Rp5.000, itu masih amat terjangkau. Yang betul-betul tidak mampu, baru mengajukan permohonan keringanan, dan saat itulah penggunaan NIK baru relevan. Tapi kalau penggunaan NIK untuk semua pengguna KRL Jabodetabek dan layanan KCI lainnya jelas tidak tepat," katanya.
(Dhera Arizona)