Investasi Emas Sistem Kredit, Bagaimana Hukumnya dalam Islam?
Berikut bahasan terkait hukum syariah atau Islam soal investasi atau beli emas secara kredit atau cicil emas.
IDXChannel- Beberapa bank dan lembaga keuangan banyak menawarkan kemudahan untuk investasi emas, dengan cara beli emas kredit atau cicil emas. Lantas bagaimana hukumnya dalam Islam terkait beli emas kredit?
Pada laman Bank Syariah Indonesia (BSI), menyebut Fatwa DSN MUI (Majelis Ulama Indonesia) Nomor 77/DSN-MUI/VI/2020 tentang Jual-Beli Emas secara Tidak Tunai.
"Hukum Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai adalah boleh (mubah, ja’iz) selama emas tidak menjadi alat tukar menukar yang resmi (sebagaimana alat tukar uang pada umumnya)," begitu isi fatwa terkait yang dilansir dari situs BSI.
Di sisi lain, sumber informasi Madaninews menyebut ada tiga syarat dan ketentuan, dalam melakukan tata cara investasi emas yang halal.
Yang pertama, harga jual (tsaman) tidak boleh bertambah selama jangka waktu perjanjian meskipun ada perpanjangan waktu setelah jatuh tempo.
Syarat kedua, emas yang dibeli dengan pembayaran tidak tunai boleh dijadikan jaminan (rahn). Dan syarat ketiga, emas yang dijadikan jaminan sebagaimana dimaksud dalam angka 2 tidak boleh dijualbelikan atau dijadikan obyek akad lain yang menyebabkan perpindahan kepemilikan.
Dari hal tersebut, maka dapat dikatakan jika produk cicilan emas yaitu fasilitas pembiayaan yang diberikan untuk membeli emas logam mulia dalam bentuk batangan yang diangsur setiap bulannya dengan akad murabahah (jual beli) yang dilakukan lembaga keuangan syariah selama ini, hukumnya boleh.
Sementara itu, lembaga Fiqih Islam Organisasi Konferensi Islam Nomor 51 (2/6)[1] dalam pertemuan VI pada 20 Maret 1990 di Jeddah tentang jual beli kredit, juga memutuskan jual beli emas non tunai diperbolehkan.
Adapun syaratnya, emas sebagai komoditas. Sebagai komoditas dan bukan uang, emas boleh diperjualbelikan dengan angsuran dan margin, termasuk dengan skema murabahah. Harga dalam jual tidak tunai tersebut, boleh lebih besar dari harga jual tunai (majalah lembaga Fiqih Islam edisi VI, juz 1, hlm 193).
Untuk emas yang diperjualbelikan dalam produk cicilan emas baik disimpan atau dititipkan di bank syariah oleh nasabah, juga harus dapat dipastikan emas tersebut itu ada (wujud) dan bisa diambil atau dikuasai oleh nasabah berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Jika akad jual beli murabahah menjadi pilihan, maka dipastikan penjual telah memiliki secara prinsip emas tersebut sebelum dilakukan jual kepada nasabah.
Sementara dari situs NU online menyebut terkait dengan praktik jual beli taqsith (kredit), sebagaimana telah disepakati oleh kalangan ulama’ akan kebolehannya, adalah harga harus ditentukan di awal terlebih dahulu.
Demikian pula harga barang yang dibayar dengan jual beli bertempo. Misalnya ditentukan bahwa harga 10 gram emas adalah 5 juta rupiah, dengan angsuran pembayaran sebanyak 2 kali, dalam jangka waktu 2 tahun. Angsuran pertama sebesar 2,5 juta rupiah. Selang jangka waktu satu tahun ternyata harga emas naik dua kali lipat. Apakah pembeli tetap melakukan angsuran sebesar 2,5 juta rupiah tiap angsurannya sehingga total akhir harga adalah 5 juta? Atau apakah Si Pembeli harus mengangsur dengan harga standart terbaru emas? Sehingga apabila nilai emas naik dua kali lipat, maka ia dianggap masih mengangsur seperempat harganya.
(IND)