ChatGPT Bergerak Begitu Cepat, Tetapi Regulator Tak Bisa Mengimbanginya
Desakan agar pemerintah mengatur mengenai kecerdasan buatan (AI) yang telah ada jauh sebelum OpenAI merilis ChatGPT pada akhir tahun 2022.
IDXChannel - Desakan agar pemerintah mengatur mengenai kecerdasan buatan (AI) yang telah ada jauh sebelum OpenAI merilis ChatGPT pada akhir tahun 2022.
Akan tetapi, pemerintah pun belum menemukan pendekatan untuk menangani kemampuan AI dalam melaksanakan pengawasan massal, memperburuk ketidakadilan yang sudah berlangsung lama, maupun menempatkan manusia dalam bahaya fisik.
Dilansir dari The Straits Times Selasa (28/3/2023), terkait dengan tantangan tersebut, munculnya sebuah AI generatif, yaitu suatu sistem semacam chatbot untuk membentuk konten dengan sendirinya yang menghadirkan sebuah tantangan baru.
"Kita perlu mengatur hal ini, kita perlu undang-undang," ucap Janet Haven, direktur eksekutif Data & Society, sebuah organisasi riset nirlaba di New York.
"Gagasan bahwa perusahaan teknologi dapat membuat apa pun yang mereka inginkan dan merilisnya ke dunia dan masyarakat berebut untuk menyesuaikan diri dan memberi jalan bagi hal tersebut adalah hal yang terbelakang," tambahnya.
Saat ini, proposal yang dikembangkan untuk mengatur AI adalah dari Uni Eropa, dimana negara tersebut pertama kali mengeluarkan Undang-Undang Kecerdasan Buatan (AI) pada tahun 2021.
Namun, bentuk final dari Undang-undang tersebut masih diperdebatkan, dan secara agresif akan menerapkan perlindungan apabila teknologi ini digunakan untuk kasus-kasus “berisiko tinggi”, seperti keputusan ketenagakerjaan atau dalam beberapa operasi penegakan hukum, sembari menyisakan lebih banyak ruang untuk bereksperimen dengan aplikasi yang berisiko lebih rendah.
Bahkan, beberapa anggota parlemen di balik UU tersebut ingin menjadikan ChatGPT sebagai berisiko tinggi, tetapi ide itu ditentang oleh pihak lain. Seperti yang tertulis, RUU ini berfokus terhadap bagaimana teknologi ini digunakan daripada spesifik terhadap teknologi itu sendiri.
Kendati demikian, dari laman yang sama, pedoman ini bersifat sukarela, sementara beberapa ahli pun menyatakan AI generatif sudah menimbulkan masalah, terutama kemungkinan adanya disinformasi yang diproduksi secara massal dan tidak dibahas dalam cetak biru tersebut. Selain itu, timbulnya kekhawatiran yang berkembang sebab chatbot akan membuat orang lebih sulit mempercayai apa pun yang mereka temui secara online.
"Ini adalah bagian dari lintasan menuju kurangnya kepedulian terhadap kebenaran," kata Dr Will McNeill, seorang profesor di University of Southampton di Inggris dengan spesialisasi etika AI.
Berdasarkan survei dari McKinsey & Co. pada tahun 2022, terkait AI yang lebih luas, berbagai perusahaan dengan cepat telah mengadopsi pedoman yang baru pada beberapa tahun terakhir melalui "tidak ada peningkatan yang substansial" dalam mitigasi risiko.
Terlepas dari kebijakan yang belum jelas, faktor utama yang menghambat AI tampaknya adalah batasan yang diberikan oleh perusahaan-perusahaan yang membangun teknologi itu sendiri.
"Bagi saya, hal yang akan menimbulkan tanda bahaya adalah jika organisasi mendorong ke arah komersialisasi tanpa membicarakan bagaimana mereka memastikan hal itu dilakukan dengan cara yang bertanggung jawab," tutur Steven Mills, kepala etika AI di Boston Consulting Group. "Kami masih belum yakin apa yang dapat dilakukan oleh teknologi ini," jelasnya.
(DKH)