Hingga saat ini, total pembiayaan SLL yang telah disalurkan BNI mencapai Rp6 triliun. Pembiayaan ini menyasar berbagai sektor seperti agrifood, manufaktur semen, baja, produk batubara, dan kemasan, dengan tujuan mendorong peningkatan kinerja keberlanjutan dari perusahaan-perusahaan tersebut.
Selain itu, BNI telah menetapkan Risk Acceptance Criteria (RAC) yang memasukkan aspek mitigasi risiko perubahan iklim. Dalam hal ini, BNI mensyaratkan sejumlah ketentuan bagi calon debitur di sektor yang tergolong berisiko tinggi terhadap lingkungan, seperti kewajiban memiliki sertifikasi RSPO/ISPO untuk sektor kelapa sawit, serta menerapkan kebijakan No Deforestation, No Peat, and No Exploitation (NDPE) dalam proses pembukaan lahan.
BNI juga menerapkan prinsip selektivitas dalam memberikan pembiayaan ke sektor-sektor dengan tingkat emisi yang tinggi. Aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola (LST) menjadi pertimbangan utama, termasuk rencana transisi energi yang jelas dan terukur dari calon debitur.
"Tuntutan pasar dan regulator mendorong bisnis lebih bertanggung jawab terhadap lingkungan dan sosial. BNI menjawabnya dengan mengintegrasikan prinsip ESG dalam proses bisnis," ujar Okki.
Dia melanjutkan, BNI optimistis dapat mendorong transformasi menuju sistem keuangan hijau. Dengan pembiayaan berkelanjutan dan penerapan prinsip ESG, BNI berupaya mewariskan lingkungan sehat untuk generasi mendatang.
(Febrina Ratna Iskana)