“Misalnya emiten atau perusahaan beberapa operasionalnya bergantung dari utang, utang terpengaruh dari suku bunga, kalau suku bunga makin naik, biaya utang mereka makin naik otomatis laba nya makin turun. Itu kan berpengaruh ke price saham. Sebaliknya, kalau misal suku bunga turun, ekspektasi orang itu bunga utangnya turun, biaya yang harus mereka keluarkan untuk bayar utang turun, otomatis laba diharapkan naik dan harga saham naik,” terangnya.
Sentimen positif ini dinilai akan memberikan efek domino ke pasar saham di Indonesia. Ketika suku bunga stagnan, investor tidak akan memilih deposito dan cenderung beralih ke saham. Ini pun akan menarik investor asing di pasar saham Indonesia.
“Kebijakan Bank Indonesia juga sebenarnya sudah tidak menaikan, mulai stabil, ketika AS sudah tidak naik, otomatis investor asing akan mulai mempertimbangkan Indonesia. Foreign flow pun bisa naik,” bebernya.
Sebaliknya, ketika suku bunga The Fed mengalami kenaikan, investor cenderung akan beralih untuk mencari aset yang lebih aman, seperti deposito.
“Dalam ilmu ekonomi, valuasi saham akan ditentukan oleh tingkat suku bunga juga sebagai pengurangnya. Jadi ketika suku bunga makin naik, tapi dengan faktor risiko tetep tinggi, nilai saham akan turun. Sementara, deposito itu aman dan stabil serta bergerak sesuai suku bunga, ketika suku bunga naik, otomatis bank akan menaikan tingkat deposito dan kita jadi untung,” pungkasnya.
(SLF)