sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

20 Tahun Kongres PKC, PR Ekonomi China Pasca Serentetan Guncangan

Economics editor Maulina Ulfa - Riset
17/10/2022 17:45 WIB
Tak hanya soal politik, kongres PKC kali ini menyisakan sejumlah pekerjaan rumah bagi China, salah satunya adalah isu ekonomi.
20 Tahun Kongres PKC, PR Ekonomi China Pasca Serentetan Guncangan. (Foto: MNC Media)
20 Tahun Kongres PKC, PR Ekonomi China Pasca Serentetan Guncangan. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Partai Komunis China (PKC) mengadakan kongres ke-20 dimulai pada 16 Oktober 2022. Sebagai negara penganut sistem partai tunggal yang diatur oleh PKC, sekretaris jenderal partai otomatis akan menjadi pemimpin terpenting China.

Presiden China sekaligus Sekretaris Jenderal PKC, Xi Jinping, yang telah memimpin sejak 2012, akan menyerahkan tugasnya kepada kandidat sekjen baru.

Namun pria berusia 69 tahun, diperkirakan masih akan terpilih untuk masa jabatan berikutnya.

Ini akan melanggar norma yang ditetapkan oleh dua pendahulu Xi, yaitu Hu Jintao dan Jiang Zemin, yang masing-masing melepaskan jabatan sekretaris jenderal setelah menjalani dua masa jabatan lima tahun penuh.

Tak hanya soal politik, kongres PKC kali ini menyisakan sejumlah pekerjaan rumah bagi China, salah satunya adalah isu ekonomi.

Negeri Tirai Bambu tersebut diketahui tengah mengalami serentetan guncangan yang memporakporandakan ekonomi nasional semenjak guncangan Covid-19 di Wuhan pada akhir September 2019 hingga saat ini.

PDB Anjlok Hingga Kolapsnya Sektor Properti

Laporan terbaru Trading Economics, ekonomi China menyusut minus 2,6% dalam tiga bulan hingga Juni 2022. Kondisi ini lebih tinggi daripada perkiraan pasar sebesar 1,5%. Ini adalah kontraksi pertama sejak kuartal 1 2020, ketika wabah Corona di Wuhan merebak menjadi epidemi yang meluas. (Lihat grafik di bawah ini)

Laju Pertumbuhan PDB China

 

Sumber: Trading Economics

World Economic Forum memperkirakan setiap penurunan 1 poin persentase dalam PDB China akan berdampak pada pengurangan 0,3% PDB global.

Dalam sebuah studi The Federal Reserve (The Fed) pada 2019, para ekonom memperkirakan penurunan 8,5% dalam PDB China akan mengakibatkan penurunan 3,25% PDB di negara maju dan hampir 6% penurunan PDB di negara berkembang.

Kebijakan lockdown di beberapa wilayah di China dari Maret hingga Mei 2022, termasuk pusat keuangan dan perdagangan Shanghai disinyalir menjadi penyebabnya.

Badan Statistik China menyoroti tekanan pada ekonomi diproyeksi akan meningkat secara signifikan sejak kuartal Juni dan seterusnya karena adanya faktor-faktor tak terduga.

Hal serupa juga dilaporkan Bank Dunia. Menurut perkiraan Bank Dunia, kebijakan Zero-Covid-19 dan krisis pasar perumahan telah menempatkan pertumbuhan ekonomi China tertinggal di kawasan Asia-Pasifik lainnya untuk pertama kalinya dalam lebih dari 30 tahun.

Dalam laporan dua tahunan yang dirilis pada 27 September lalu, Bank Dunia mengatakan prospek pertumbuhan tahunan untuk kawasan Asia Timur dan Pasifik telah diturunkan dari 5% menjadi 3,2%. Namun sebagian besar dari penurunan itu disebabkan oleh kondisi ekonomi di China, yang menyumbang 86% dari output ekonomi kawasan.

Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan PDB di China – yang notabene ekonomi terbesar kedua di dunia – hanya 2,8% untuk tahun 2022. Sementara 23 negara lainnya diperkirakan akan tumbuh rata-rata 5,3%, lebih dari dua kali lipat kenaikan pada 2021 yang berada di angka 2,6%.

Salah satu sektor yang memperburuk perekonomian China adalah sektor properti.

Pada Agustus 2020, Beijing meluncurkan kebijakan “tiga garis merah” yang bertujuan untuk memecahkan gelembung properti yang membesar selama beberapa dekade terakhir.

Kebijakan tersebut memiliki tujuan ganda, yakni mengurangi ketergantungan ekonomi yang berlebihan pada properti dan meredam spekulasi yang membuat harga rumah melambung dan tidak terkontrol.

Kredit bank yang sedang digulirkan ke perusahaan properti pada Oktober 2022 meningkat menjadi 200 miliar yuan atau setara USD31 miliar dari 150 miliar yuan atau setara USD23,5 miliar pada bulan sebelumnya, menurut data China Beige Book International.

Kebijakan "tiga garis merah”  ini menetapkan pengembang yang ingin membiayai kembali sektor properti harus memiliki batas  rasio kewajiban (liabilitas) terhadap aset di level 70%, tidak termasuk hasil uang muka dari proyek, 100% batas rasio utang bersih terhadap ekuitas, dan rasio pinjaman tunai terhadap pinjaman jangka pendek setidaknya di angka satu.

Akibat kebijakan ini, pertumbuhan investasi real estat, yang mencapai puncaknya pada 38,3 persen pada Januari 2022. Namun kemudian konsisten menurun menjadi 21,6% pada April, 10,9% pada Juli, dan 7,2% pada Oktober ini.

Dengan properti menyumbang 15% hingga 30% dari produk domestik bruto (PDB) China, kesengsaraan pasar menimbulkan masalah bagi ekonomi terbesar kedua di dunia – dan juga berpotensi pertumbuhan global.

Pergeseran Visi Ekonomi Politik Xi Jinping

Salah satu tantangan Xi Jinping dan penerus pimpinan PKC adalah memulihkan ekonomi China.

Ketika dunia bergulat dengan dampak ekonomi akibat invasi Rusia ke Ukraina, ekonomi China sedang diterpa badai besar. Ekonomi China diperkirakan akan tumbuh lebih lambat daripada negara-negara Asia lainnya untuk pertama kalinya dalam lebih dari 30 tahun.

Menurut analisis Chatam House, Xi berada di bawah tekanan untuk menawarkan beberapa resep baru. Ia kemungkinan akan memberi sinyal pergeseran lebih jauh dari ekonomi pasar yang mendorong pertumbuhan China selama beberapa dekade ini menuju visinya tentang 'kemakmuran bersama'.

Ambisi Xi Jinping adalah untuk mendefinisikan kembali kemajuan, bukan mengacu pada pertumbuhan dua digit, tetapi bagaimana mengatasi persoalan lama seperti penurunan demografis, ketimpangan sosial, dan harga properti yang tinggi. Dengan demikian, pemerintah China dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus meningkat untuk kehidupan yang lebih baik.

Sebelumnya, China menganut ekonomi pasar dengan sistem politik tersentralisasi atau bisa disebut sebagai state capitalism atau kapitalisme negara.

Salah satu indikasi kapitalisme negara China adalah menguatnya peran badan usaha milik negara (BUMN) dalam pasar.

Mengutip studi CSIS, China memiliki lebih banyak perusahaan yang nangkring dalam daftar Fortune Global 500 dibanding Amerika Serikat, yakni 124 berbanding 121. Jumlah ini hampir 75% di antaranya adalah BUMN.

Tiga perusahaan China terbesar di dunia di antaranya Sinopec Group, State Grid, dan China National Petroleum.

BUMN terbesar di China memegang posisi pasar yang dominan di banyak industri paling kritis dan strategis, mulai dari energi hingga pengiriman. Menurut perhitungan CSIS, aset gabungan untuk 96 BUMN terbesar China berjumlah lebih dari USD63 triliun, jumlah yang setara dengan hampir 80% dari PDB global.

BUMN yang beroperasi di sektor strategis misalnya, perbankan, infrastruktur, telekomunikasi, energi terlindung dari persaingan domestik dan asing dan kebal dari pengawasan anti-monopoli oleh pemerintah China.

Namun, akibat kondisi ekonomi global yang tengah mengalami guncangan, menyebabkan arah kebijakan ekonomi China juga perlu direstrukturisasi. Dunia tengah menunggu intervensi PKC untuk kembali meningkatkan performa ekonomi China ke era kejayaannya. (ADF)

Halaman : 1 2
Advertisement
Advertisement