sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

20 Tahun Kongres PKC, PR Ekonomi China Pasca Serentetan Guncangan

Economics editor Maulina Ulfa - Riset
17/10/2022 17:45 WIB
Tak hanya soal politik, kongres PKC kali ini menyisakan sejumlah pekerjaan rumah bagi China, salah satunya adalah isu ekonomi.
20 Tahun Kongres PKC, PR Ekonomi China Pasca Serentetan Guncangan. (Foto: MNC Media)
20 Tahun Kongres PKC, PR Ekonomi China Pasca Serentetan Guncangan. (Foto: MNC Media)

Kredit bank yang sedang digulirkan ke perusahaan properti pada Oktober 2022 meningkat menjadi 200 miliar yuan atau setara USD31 miliar dari 150 miliar yuan atau setara USD23,5 miliar pada bulan sebelumnya, menurut data China Beige Book International.

Kebijakan "tiga garis merah”  ini menetapkan pengembang yang ingin membiayai kembali sektor properti harus memiliki batas  rasio kewajiban (liabilitas) terhadap aset di level 70%, tidak termasuk hasil uang muka dari proyek, 100% batas rasio utang bersih terhadap ekuitas, dan rasio pinjaman tunai terhadap pinjaman jangka pendek setidaknya di angka satu.

Akibat kebijakan ini, pertumbuhan investasi real estat, yang mencapai puncaknya pada 38,3 persen pada Januari 2022. Namun kemudian konsisten menurun menjadi 21,6% pada April, 10,9% pada Juli, dan 7,2% pada Oktober ini.

Dengan properti menyumbang 15% hingga 30% dari produk domestik bruto (PDB) China, kesengsaraan pasar menimbulkan masalah bagi ekonomi terbesar kedua di dunia – dan juga berpotensi pertumbuhan global.

Pergeseran Visi Ekonomi Politik Xi Jinping

Salah satu tantangan Xi Jinping dan penerus pimpinan PKC adalah memulihkan ekonomi China.

Ketika dunia bergulat dengan dampak ekonomi akibat invasi Rusia ke Ukraina, ekonomi China sedang diterpa badai besar. Ekonomi China diperkirakan akan tumbuh lebih lambat daripada negara-negara Asia lainnya untuk pertama kalinya dalam lebih dari 30 tahun.

Menurut analisis Chatam House, Xi berada di bawah tekanan untuk menawarkan beberapa resep baru. Ia kemungkinan akan memberi sinyal pergeseran lebih jauh dari ekonomi pasar yang mendorong pertumbuhan China selama beberapa dekade ini menuju visinya tentang 'kemakmuran bersama'.

Ambisi Xi Jinping adalah untuk mendefinisikan kembali kemajuan, bukan mengacu pada pertumbuhan dua digit, tetapi bagaimana mengatasi persoalan lama seperti penurunan demografis, ketimpangan sosial, dan harga properti yang tinggi. Dengan demikian, pemerintah China dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus meningkat untuk kehidupan yang lebih baik.

Sebelumnya, China menganut ekonomi pasar dengan sistem politik tersentralisasi atau bisa disebut sebagai state capitalism atau kapitalisme negara.

Salah satu indikasi kapitalisme negara China adalah menguatnya peran badan usaha milik negara (BUMN) dalam pasar.

Mengutip studi CSIS, China memiliki lebih banyak perusahaan yang nangkring dalam daftar Fortune Global 500 dibanding Amerika Serikat, yakni 124 berbanding 121. Jumlah ini hampir 75% di antaranya adalah BUMN.

Tiga perusahaan China terbesar di dunia di antaranya Sinopec Group, State Grid, dan China National Petroleum.

BUMN terbesar di China memegang posisi pasar yang dominan di banyak industri paling kritis dan strategis, mulai dari energi hingga pengiriman. Menurut perhitungan CSIS, aset gabungan untuk 96 BUMN terbesar China berjumlah lebih dari USD63 triliun, jumlah yang setara dengan hampir 80% dari PDB global.

BUMN yang beroperasi di sektor strategis misalnya, perbankan, infrastruktur, telekomunikasi, energi terlindung dari persaingan domestik dan asing dan kebal dari pengawasan anti-monopoli oleh pemerintah China.

Namun, akibat kondisi ekonomi global yang tengah mengalami guncangan, menyebabkan arah kebijakan ekonomi China juga perlu direstrukturisasi. Dunia tengah menunggu intervensi PKC untuk kembali meningkatkan performa ekonomi China ke era kejayaannya. (ADF)

Halaman : 1 2 Lihat Semua
Advertisement
Advertisement