IDXChannel - Volume perdagangan global mengalami penurunan tajam per Juli 2023, di mana volume perdagangan turun 3,2 persen pada periode tersebut dibandingkan dengan bulan yang sama tahun sebelumnya.
Sebagaimana dilaporkan Financial Times, Senin (25/9/2023), penurunan ini menjadi laju tahunan tercepat selama hampir tiga tahun pada bulan Juli. Pelemahan ini juga menjadi yang paling tajam sejak bulan-bulan awal pandemi virus corona pada Agustus 2020. (Lihat grafik di bawah ini.)
Kondisi ini disebut oleh Financial Times menandakan kenaikan suku bunga yang mulai mempengaruhi permintaan barang global.
Angka ini merupakan laporan terbaru dari World Trade Monitor, yang diterbitkan oleh Biro Analisis Kebijakan Ekonomi Belanda, atau CPB, mengikuti kontraksi sebesar 2,4 persen pada Juni dan menambah bukti bahwa pertumbuhan global sedang melambat.
Setelah melonjak selama pandemi, permintaan ekspor barang global melemah karena tingginya inflasi, kenaikan suku bunga yang besar oleh bank sentral dunia sepanjang 2022, dan peningkatan belanja jasa dalam negeri seiring dengan dibukanya kembali perekonomian setelah lockdown.
Perubahan volume ekspor terjadi secara luas, dengan sebagian besar negara dunia melaporkan penurunan volume perdagangan pada periode Juli.
China yang merupakan eksportir barang terbesar di dunia, mencatat penurunan tahunan sebesar 1,5 persen. Sementara zona euro mengalami kontraksi sebesar 2,5 persen, dan Amerika Serikat (AS) mengalami penurunan sebesar 0,6 persen.
Financial Times mencatat, indikator sentimen menunjukkan bahwa perdagangan dunia akan tetap lemah dalam beberapa bulan mendatang.
Indeks manajer pembelian S&P Global yang melacak pesanan ekspor baru juga menunjukkan kontraksi tajam pada Agustus dan September di seluruh kawasan. Seperti di pasar AS, zona euro, Asia hingga Inggris. (Lihat grafik di bawah ini.)
Indeks Manajer Pembelian Manufaktur S&P Global Indonesia mengukur kinerja sektor manufaktur dan diperoleh dari survei terhadap 400 perusahaan manufaktur. Angka di atas 50 menunjukkan perluasan sektor manufaktur dibandingkan bulan sebelumnya; di bawah 50 menunjukkan kontraksi; sedangkan 50 menunjukkan tidak ada perubahan.
Para ekonom kini juga memperkirakan volume ekspor zona euro akan stagnan pada tahun ini, setelah memperkirakan ekspansi sebesar 2 persen pada awal tahun.
Meskipun suku bunga diperkirakan tidak akan naik lebih lanjut dalam beberapa bulan mendatang, bank sentral kemungkinan besar tidak akan memangkas biaya pinjaman hingga cukup bukti bahwa tekanan harga telah terkendali.
Para analis yakin kurangnya pelonggaran kredit akan terus membebani ekspor di seluruh negara dunia.
“Dengan dampak lambat dari suku bunga tinggi yang kemungkinan akan lebih membebani permintaan barang-barang tertentu, diperlukan waktu beberapa bulan sebelum perdagangan global mencapai titik terendahnya,” kata Ariane Curtis, ekonom global di konsultan Capital Economics.
Curtis menambahkan, permintaan impor barang-barang yang sering kali dibeli menggunakan dana pinjaman seperti mobil, perabot rumah tangga, dan barang modal akan menjadi yang paling melemah.
Mohit Kumar, ekonom di perusahaan jasa keuangan Jefferies, mengatakan perdagangan kemungkinan besar akan mengikuti tren pertumbuhan ekonomi global. Kumar memperkirakan akan terjadi perlambatan di setiap negara besar pada beberapa kuartal mendatang.
Seiring dengan melemahnya pertumbuhan, ketegangan geopolitik juga berdampak pada perdagangan.
Dalam prospek ekonomi terbarunya, OECD menyoroti bagaimana pembatasan perdagangan telah membatasi penjualan ekspor sejak 2018.
“Fragmentasi geoekonomi dan peralihan ke kebijakan perdagangan yang lebih berorientasi ke dalam negeri akan membatasi keuntungan dari perdagangan global dan berdampak pada standar hidup, terutama di negara-negara dan rumah tangga termiskin,” kata OECD memperingatkan.
CPB juga melaporkan bahwa produksi industri global turun 0,1 persen dibandingkan bulan sebelumnya, didorong oleh penurunan tajam produksi di Jepang, zona euro, dan Inggris.
Output industri AS naik tipis 0,7 persen dan meningkatkan harapan akan terjadinya soft landing (perlambatan pertumbuhan ekonomi) bagi negara dengan perekonomian terbesar di dunia tersebut. Sementara tingkat inflasi turun ke tingkat yang dapat ditoleransi tanpa memicu resesi.
Bagaimana Nasib Indonesia?
Sinyal pelemahan perdagangan global ini juga berdampak buat Indonesia. Hal ini terlihat dari kinerja ekspor impor yang terus melemah dalam dua bulan terakhir.
Nilai ekspor Indonesia Agustus 2023 mencapai USD22,00 miliar atau naik 5,47 persen dibanding ekspor Juli 2023. Namun, secara year on year (yoy), nilai ekspor RI turun sebesar 21,21 persen.
Tercatat, ekspor nonmigas Agustus 2023 mencapai USD20,69 miliar, naik 5,35 persen dibanding Juli 2023. Namun, nilai ini juga turun 21,25 persen jika dibanding ekspor nonmigas Agustus 2022.
Secara kumulatif, nilai ekspor Indonesia Januari–Agustus 2023 mencapai USD171,52 miliar atau turun 11,85 persen dibanding periode yang sama 2022. Sementara ekspor nonmigas mencapai USD161,13 miliar atau turun 12,27 persen yoy.
Menurut Kementerian Keuangan, penurunan kinerja ekspor tidak hanya dialami Indonesia, melainkan juga terjadi di banyak negara, akibat melemahnya aktivitas ekonomi dunia.
Ekspor China dan India juga terkontraksi selama Januari – Agustus 2023. Di Kawasan ASEAN, ekspor Vietnam juga mengalami kontraksi dalam periode yang sama.
Sementara Malaysia dan Thailand mengalami kontraksi pada periode Januari – Juli 2023. Hal ini menunjukkan bahwa dampak perlambatan ekonomi global terjadi secara luas.
Kemenkeu menegaskan, meskipun pertumbuhan ekspor Indonesia secara nilai mengalami penurunan, namun masih menunjukkan peningkatan secara volume.
Permintaan ekspor produk unggulan Indonesia masih kuat, tercermin dari pertumbuhan volume ekspor non migas yang masih tumbuh 9,5 persen pada periode Januari – Agustus 2023.
Terutama untuk komoditas bahan bakar mineral termasuk batu bara, minyak hewani atau nabati, besi baja, kendaraan, logam mulia dan nikel.
“Dampak penurunan harga komoditas dan perlambatan ekonomi global, terutama dari negara mitra dagang utama Indonesia, mulai dirasakan khususnya pada kinerja perdagangan. Untuk itu, Pemerintah akan terus mengambil langkah-langkah antisipatif dengan terus mendorong keberlanjutan hilirisasi Sumber Daya Alam (SDA), meningkatkan daya saing produk ekspor nasional, dan diversifikasi mitra dagang utama”, kata Febrio Kacaribu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan dikutip di website Kemenkeu.
Namun, menguatnya dolar dan melemahnya rupiah perlu jadi perhatian. Ini karena kinerja rupiah yang terus mengalami pelemahan dalam beberapa waktu terakhir.
Kuatnya dolar dikhawatirkan akan menggerus neraca perdagangan di masa depan
Meskipun, neraca perdagangan Agustus 2023 kembali mencatatkan surplus sebesar USD3,12 miliar. Secara kumulatif dari Januari – Agustus 2023, surplus neraca perdagangan mencapai USD24,34 miliar.
Dengan demikian, Indonesia telah mengalami surplus perdagangan selama 40 bulan berturut-turut, meski nilainya menyusut dari bulan sebelumnya sebesar USD3,45 miliar. (ADF)