IDXChannel - Dalam proyeksi ke depan, Dana Moneter International (International Monetary Fund/IMF) melihat berbagai risiko perekonomian global masih dominan dengan potensi hard landing jika risiko semakin ekskalatif.
Risiko utama berasal dari tekanan sektor keuangan, tekanan utang, ekskalasi perang di Ukraina yang dapat memicu kenaikan harga komoditas, tingkat inflasi inti yang persisten tinggi, serta fragmentasi geoekonomi.
"Beberapa rekomendasi kebijakan dari IMF untuk negara-negara dalam menavigasi perekonomian global yang semakin menantang," ujar Kepala Badan Kebijakan (BKF), Febrio Kacaribu di Jakarta, Kamis (13/4/2023).
Rekomendasi itu antara lain, pertama, kebijakan pengetatan moneter dapat berlanjut dengan tetap menjaga stabilitas keuangan. Kedua, dukungan fiskal terus diprioritaskan untuk melindungi kelompok paling rentan dengan tetap menjaga kesinambungan fiskal.
Yang ketiga, pentingnya penguatan kebijakan struktural dan kerja sama multilateral demi mewujudkan perekonomian global yang lebih resilien.
"Dalam menghadapi berbagai ketidakpastian, pemerintah Indonesia memiliki komitmen yang tinggi untuk melanjutkan berbagai kebijakan yang pruden, namun tetap suportif dalam penguatan pondasi ekonomi," ucap Febrio.
Di 2022, defisit fiskal Indonesia telah kembali ke level di bawah 3% terhadap PDB, satu tahun lebih cepat dibanding rencana awal, yang menunjukkan sikap kehati-hatian dan kredibilitas di tengah peningkatan risiko global.
Meski demikian, APBN masih tetap memberi perhatian utama pada area-area vital, seperti peningkatan kualitas sumber daya manusia, penguatan perlindungan sosial, akselerasi infrastruktur, peningkatan efektivitas desentralisasi fiskal, serta reformasi birokrasi.
“Ke depan, pemerintah Indonesia akan terus menjalankan kebijakan yang antisipatif dalam menghadapi turbulensi perekonomian global dengan tetap mengawal rencana pembangunan jangka menengah-panjang antara lain melalui melalui reformasi struktural,” papar Febrio.
Sekadar informasi, IMF memperkirakan perekonomian global melambat dari 3,4% pada 2022 menjadi 2,8% pada 2023 (turun 0,1 pp dibanding proyeksi Januari), kemudian membaik ke level 3,0% di 2024 (turun 0,1 pp).
Momentum penguatan pemulihan yang sempat terjadi di awal tahun, kini meredup seiring terjadinya gejolak sektor keuangan di Amerika Serikat dan Eropa, serta tekanan inflasi yang persisten tinggi. Proyeksi inflasi global 2023-2024 naik 0,4 pp dan 0,6 pp menjadi 7,0% dan 4,9%.
Proyeksi pertumbuhan ekonomi untuk beberapa negara maju dan berkembang utama secara umum menunjukkan perlambatan di 2023 dan kembali membaik di 2024. Negara-negara maju seperti Amerika Serikat diproyeksi tumbuh 1,6% (2023) dan 1,1% (2024), sedangkan Eropa diprediksi tumbuh 0,8% (2023) dan 1,4% (2024).
Kegagalan sistem perbankan AS dan Eropa menambah ketidakpastian terhadap outlook kedua kawasan yang sudah mendapat tekanan berat dari inflasi dan pengetatan moneter yang agresif. Sementara itu, India diproyeksikan tumbuh 5,9% (2023) dan 6,3% (2024), serta China diproyeksikan tumbuh 5,2% (2023) dan 4,5% (2024).
(FAY)