Goldman Sachs memperkirakan pasar aluminium global akan mencatat surplus 1,5 juta ton pada 2026 dan 2 juta ton pada 2027, seiring peningkatan produksi aluminium primer Indonesia dari 815 ribu ton pada 2025 menjadi 1,6 juta ton pada 2026, dan 2,5 juta ton pada 2027.
“Pasokan baru dari Indonesia secara efektif menutup kesenjangan pasokan global yang sebelumnya kami perkirakan muncul seiring China mencapai batas kapasitas smelternya, setidaknya untuk dekade ini,” tulis Goldman Sachs dalam catatan bulan ini.
Bank investasi tersebut memproyeksikan harga aluminium turun ke USD2.350 per metrik ton pada kuartal IV-2026, masih berada di atas persentil ke-90 dari estimasi biaya produksi smelter global. Artinya, 90 persen produsen aluminium akan tetap beroperasi dengan biaya di bawah level itu, sehingga mayoritas masih bisa mencatat laba.
Pada Senin, harga aluminium kontrak tiga bulan di London Metal Exchange (LME) diperdagangkan di kisaran USD2.873 per metrik ton.
Sementara itu, Macquarie memperkirakan lonjakan produksi aluminium primer Indonesia mendorong pasar global ke surplus 390 ribu ton di 2026. Namun, dalam jangka panjang, Macquarie melihat pasar berpotensi kembali defisit seiring China mencapai batas kapasitas produksi dan permintaan terus meningkat.