Dikatakan lebih lanjut, beberapa rekrutan baru-baru ini ke negara-negara kaya datang dari Afrika sub-Sahara. Mulai dari Nigeria dan sebagian Karibia, Howard mengungkapkan biasanya para perawat sering kali dimotivasi oleh gaji yang lebih tinggi dan persyaratan yang lebih baik daripada di rumah.
Mengisi kekosongan staf perawat tersebut, negara-negara Barat mengakalinya dengan mempekerjakan personel militer, sukarelawan dan pensiunan. Tetapi banyak juga yang meningkatkan rekrutmen internasional. Hal ini dinilai sebagai bagian dari tren yang memperburuk kondisi ketidakadilan di bidang kesehatan.
Kondisi kesenjangan tenaga perawat antara negara-negara kaya dan negara-negara miskin di dunia ini, dikhawatirkan akan menjadi ketidakmerataan yang sama dengan supply APD atau PPE (personal protective equipment) serta vaksin di antara negara maju dan negara miskin.
“Saya benar-benar takut solusi cepat ini, sedikit mirip dengan apa yang telah kita lihat dengan situasi APD (alat pelindung diri) dan vaksin. Di mana negara-negara kaya menggunakan kekuatan ekonomi negara mereka mereka membeli dan menimbun. Jika mereka melakukannya hal yang sama dengan tenaga kerja keperawatan, itu hanya akan membuat ketidakadilan menjadi lebih buruk,” tambah Howard.
Sebagai informasi, berdasarkan data dari ICN, sebelum pandemi Covid-19 saja kekurangan perawat dalam skala global sudah mencapai 6 juta perawat dengan hampir 90 persen dari kekurangan itu di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah ke bawah. Laporan ICN juga mengatakan proses perekrutan ini juga biasanya difasilitasi dengan memberikan status imigrasi pilihan kepada para tenaga perawat.
(NDA)