sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

WEF 2023 dan Pentingnya Kolaborasi Multi-Stakeholder di Era Disrupsi Global

Economics editor Maulina Ulfa - Riset
16/01/2023 12:44 WIB
Kolaborasi multi-stakeholder harus lebih konkrit dan berdampak dibanding pertemuan-pertemuan sebelumnya.
WEF 2023 dan Pentingnya Kolaborasi Multi-Stakeholder di Era Disrupsi Global. (Foto: WEF)
WEF 2023 dan Pentingnya Kolaborasi Multi-Stakeholder di Era Disrupsi Global. (Foto: WEF)

IDXChannel - Pertemuan Tahunan World Economic Forum (WEF) 2023 akan dimulai dalam minggu ini. Acara yang digelar di Davos, Swiss ini akan mengangkat tema Cooperation in a Fragmented World.

WEF 2023 akan mengumpulkan para pemimpin dari pemerintah, bisnis, dan masyarakat sipil untuk membahas keadaan dunia dan mendiskusikan prioritas untuk tahun depan.

Mengutip website resminya, WEF kali ini digelar di tengah dunia yang berada di titik kritis. Belum selesai pandemi Covid-19, dunia harus menghadapi perang Rusia-Ukraina mengguncang sistem global yang sudah rapuh.

Pertumbuhan ekonomi di negara-negara ekonomi utama dunia sedang terhenti, di tengah kenaikan harga pangan dan energi yang menyengsarakan. Pertumbuhan ekonomi di tahun ini pun diramalkan tidak terlalu menggembirakan. (Lihat tabel di bawah ini.)

Untuk pertama kalinya sejak tahun 1970-an, dunia menghadapi ketidakseimbangan yang berbahaya dengan pertumbuhan dan inflasi bergerak ke arah yang berlawanan.

Kondisi ini terjadi bersamaan dengan meningkatnya fragmentasi geo-ekonomi, kerentanan sektor keuangan, termasuk harga aset yang menggeliat dan tingkat utang yang tinggi, serta krisis iklim yang tidak terkendali, yang dapat memperbesar perlambatan pertumbuhan, terutama di pasar negara berkembang.

“Tidak ada keraguan bahwa pertemuan tahunan ke-53 kami di Davos akan berlangsung dengan latar belakang geopolitik dan ekonomi yang paling kompleks dalam beberapa dekade,” kata Presiden WEF Borge Brende, mengutip Bloomberg, (16/01).

Adapun WEF 2023 rencananya akan menghadirkan 52 kepala negara dan pemerintahan serta hampir 600 CEO.

Brende mengatakan WEF 2023 kali ini memecahkan rekor partisipasi dari 52 kepala negara dan pemerintahan di mana lebih dari setengahnya dari Eropa.

Termasuk beberapa pemimpin yang baru terpilih seperti Presiden Yoon Suk Yeol dari Korea Selatan, Presiden Gustavo Petro dari Kolombia dan Presiden Ferdinand Marcos Jr. Filipina dan hampir 300 menteri pemerintah diperkirakan akan hadir.

Brende menambahkan, jika risiko sistemik dan saling terkait ini tidak segera ditangani, dunia bisa menghadapi dekade ketidakpastian dan kerapuhan lebih lanjut.

“Dalam pertemuan ke-53 ini, WEF 2023 berupaya menegaskan kembali nilai dan keharusan dialog dan kerja sama publik-swasta, tidak hanya untuk mengatasi krisis yang mengalir deras saat ini tetapi, yang lebih penting, untuk mendorong sistem-sistem yang nyata. perubahan positif untuk jangka panjang,”imbuh Brende.

Kritik WEF 2023

Selama lebih dari 50 tahun, WEF menjadi ruang bagi para pemimpin untuk terlibat dalam musyawarah dalam semangat memperbaiki keadaan dunia.

Inti dari pertemuan WEF kali ini adalah menemukan cara untuk mengembalikan kesadaran kolektif dan mengubah langkah-langkah defensif menjadi kebijakan dan strategi bisnis yang proaktif.

Serta tidak kalah pentingnya adalah besarnya potensi krisis saat ini dan potensi krisis di masa depan yang harus dicari solusinya.

Namun, kondisi alam Davos yang tak seperti biasanya memunculkan kritik bagi penyelenggaraan tahunan ini.

Pada minggu sebelum pertemuan WEF 2023 di Davos, wilayah tersebut sedang mengalami ‘kekeringan salju’ pertama kali dalam sejarah. Daerah dengan ketinggian 1.560 meter ini dilaporkan tidak tertutup salju di awal Januari ini.

Mengutip Bloomberg, gelombang panas musim dingin yang jarang terjadi tahun ini membuat lereng pegunungan kota Swiss tertutup rumput coklat mati.

Kondisi ini memunculkan kritik dari berbagai pihak dan semakin menunjukkan bahwa atmosfer memanas lebih cepat pada sebagian besar planet ini.

Kota ini tidak hanya menjadi tuan rumah diskusi tingkat tinggi tentang dunia yang berubah, tetapi juga rumah bagi pengamat cuaca.

Para ilmuwan menemukan tren yang menunjukkan tutupan salju telah turun 10% dalam 40 tahun terakhir di seluruh Pegunungan Alpen merujuk pada data dari tangkapan gambar satelit.

Jika dibandingkan dengan tahun 1971, ketika pertemuan tahunan perdana WEF berlangsung, tutupan salju di Davos rata-rata telah menipis lebih dari 40% pada tahun ini.

Ketika salju menghilang kemudian digantikan oleh pepohonan, bukanlah merupakan pertanda baik bagi alam.

“Dedaunan gelap menyerap panas dari matahari yang sebelumnya dipantulkan oleh salju putih. Itu menyebabkan lebih banyak pemanasan”, kata Sabine Rumpf, profesor di University of Basel di Swiss, mengutip Bloomberg, (16/01).

Sementara itu, Gail Whiteman, profesor keberlanjutan di Exeter Business School di Inggris mengatakan sebaiknya para pembuat kebijakan memperhatikan fenomena ini lebih serius.

“Swiss seharusnya memiliki salju di musim dingin. Seluruh rantai keanekaragaman hayati berubah, karena pohon mulai berpikir itu musim semi,”ujar Whiteman.

Untuk itu, kehilangan tutupan salju ini barangkali menjadi pertanda penting bagi pertemuan Davos. Kolaboradi multi-stakeholder harus lebih konkrit dan berdampak dibanding pertemuan-pertemuan sebelumnya. (ADF)

Halaman : 1 2
Advertisement
Advertisement