Memang, jika melihat data historis 2015–2024, IHSG hanya dua kali ditutup menguat di September, yakni pada 2017 dan 2021. Sepanjang periode tersebut, rata-rata return tercatat minus 1,81 persen dengan probabilitas penguatan hanya 20 persen, sehingga September kerap menjadi bulan yang kurang bersahabat bagi indeks.
Lebih lanjut, William menyoroti sejumlah sentimen yang patut dicermati. “Pertama, net buy asing yang datang terlambat, ini bisa menjadi sentimen positif. Namun juga menjadi bias karena keterlambatan tersebut di luar kebiasaan investor asing yang selama ini bergerak duluan,” tuturnya.
Ia juga menekankan pentingnya mencermati kinerja emiten di kuartal III-2025. “Kedua, sentimen dari rilis laporan keuangan, ini bisa negatif karena di kuartal III laporan keuangan cenderung stagnan dan beberapa industri malah mengalami penurunan di kuartal III,” imbuh William.
Sementara itu, ada pula faktor penopang dari saham-saham unggulan baru. “Ketiga, sentimen positif dari penjagaan saham-saham new blue chips terhadap IHSG, IHSG bisa aman dan hanya mengalami pelemahan terbatas di September,” kata William.
Aksi Demo Jadi Sentimen Baru
Sentimen terbaru, eskalasi aksi politik di Jakarta pekan ini, di akhir Agustus, turut menggoyahkan kepercayaan investor.