Ini karena menipisnya stok CPO yang lebih rendah dan ekspor yang lebih tinggi di bulan Juli.
Berdasarkan data Trading Economics, persediaan domestik CPO Juni naik hanya 1,9 persen dari bulan sebelumnya ke level tertinggi 4 bulan sebesar 1,72 juta metrik ton.
Angka ini juga jauh lebih kecil dari perkiraan lonjakan 10,5 persen karena produksi menurun dan ekspor melonjak.
Produksi minyak sawit juga turun 4,6 persen menjadi 1,45 juta ton, sedangkan ekspor melebihi perkiraan dengan kenaikan 8,6 persen menjadi 1,17 juta ton.
Selain itu, sepanjang 1 hingga 10 Juli, ekspor CPO tercatat naik antara 18,7 persen dan 26,1 persen, menurut surveyor kargo Amspec Agri dan Intertek Testing Services.
Adapun berdasarkan catatan Gapki, produksi CPO per Maret 2023 mengalami kenaikan musiman sekitar 12 persen dibanding Februari. Jumlah produksi tercatat dari 3.883 ribu ton naik 4.349 ribu ton.
Meski demikian ekspor CPO justru turun dari 2.912 ribu ton per Februari menjadi 2.641 pada bulan Maret.
“Penurunan terbesar terjadi pada produk olahan minyak sawit yang turun dari 2.254 ribu ton pada bulan Februari menjadi 1.880 ribu ton pada bulan Maret,” kata Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Mukti Sardjono pada pertengahan Mei lalu.
Berkaitan dengan kebijakan bursa sawit, diperlukan berbagai masukan agar ekspor CPO melalui bursa tidak merugikan pelaku usaha CPO.
Proses bisnis yang ada sekarang tidak banyak berubah kecuali mewajibkan ekspor CPO melalui bursa berjangka.
"Kebijakan kewajiban pemenuhan DMO (Domestic Market Obligation) masih berlaku, sehingga eksportir tetap wajib memiliki HE (harga eceran) terlebih dahulu. Diharapkan pelaku usaha dapat mendukung keberadaan pengaturan ekspor CPO melalui bursa berjangka ini," ujar Mendag. (ADF)