Pihak rumah riset tersebut telah mengidentifikasi lebih dari 5 juta ton/tahun potensi kapasitas Indonesia pada 2027 dibandingkan dengan tahun 2022 sebesar 1,45 juta ton dan output dunia sebesar 3,1 juta ton.
Hal ini berarti surplus masih berada dalam perkiraan dasar para analis untuk keseluruhan pasar nikel hingga 2027, kemungkinan besar terjadi pada semua kategori produk utama.
Namun, Macquarie mencatat pertumbuhan permintaan nikel tetap menjadi logam dasar terkuat dengan rata-rata 7 persen per tahun selama periode 2022-2030, sebagian besar didorong oleh permintaan dari sektor baterai kendaraan listrik (EV).
Tahun ini, produksi dan konsumsi bahan-bahan berkualitas baterai di China lebih lemah dari perkiraan, sebagian disebabkan oleh destocking rantai pasokan di tengah penurunan harga, dan juga karena lonjakan bahan kimia non-nikel, seperti litium besi fosfat (LFP).
Penggunaan nikel dalam produksi baterai tumbuh pesat pada 2022, diperkirakan mencapai 486.000 t – meningkat sebesar 119.000 t y-o-y (secara tahunan)– dengan China menyumbang sekitar 80% penggunaan global.
Pertumbuhan melambat pada Semester I-2023, khususnya di China, di mana penggunaan nikel turun sekitar 20 persen jika dibandingkan dengan Semester II-2022, meskipun masih naik 5% y-o-y.
“Kami memperkirakan pemulihan pada paruh kedua 2023 dan pertumbuhan diproyeksikan akan tetap kuat setiap tahunnya hingga 2027, ketika konsumsi diperkirakan melebihi 1 juta ton. Meskipun ada tren menuju baterai tanpa nikel (LFP), ada juga tren menuju baterai nikel yang lebih tinggi (hingga 90 persen kandungan Ni) pada kendaraan kelas menengah dan berperforma lebih tinggi untuk mengatasi kekhawatiran akan jangkauan, khususnya di luar Asia,” jelas Macquaire.
Para analis memperkirakan harga nikel akan rata-rata $22,224/t tahun ini, turun dari $26,129/t pada 2022. (ADF)
Disclaimer: Keputusan pembelian/penjualan saham sepenuhnya ada di tangan investor.