Sementara itu, harga batu bara yang soft berpotensi menekan stripping ratio. Di sisi lain, meski memiliki prospek pertumbuhan yang lebih cerah dan tarif penambangan (mining fee) yang lebih tinggi, total volume overburden dari nikel hanya setara 10 persen total volume overburden batu bara akibat perbedaan skala produksi (700 juta ton vs 300 juta ton secara tahunan) dan level striping ratio (5–10x vs. 1–3x).
Kinerja saham DEWA diproyeksi positif didorong transformasi bisnis alias peralihan ke eksekusi in–house dan potensi penambahan kontrak dari grup afiliasi.
Laba bersih DEWA diperkirakan dapat tumbuh 216 persen CAGR pada periode 2024–2028. Sementara itu, meski harga sahamnya telah reli 84 persen sejak awal 2025, DEWA diyakini masih memiliki potensi upside jika berkaca dari PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRMS) yang merupakan sister company DEWA yang harga sahamnya juga diperdagangkan secara premium, yakni berdasarkan proyeksi laba bersih 2–3 tahun ke depan.
Pada harga Rp204 per saham per 22 Juli 2025, DEWA diperdagangkan dengan valuasi 15,8x P/E 2025F dan 7,9x P/E 2026F. Dengan memperhitungkan potensi kinerja 2–3 tahun ke depan, DEWA dinilai dapat diperdagangkan di level Rp270 per saham atau setara 6,7x P/E 2028F.
Kemudian, kinerja PTRO juga diproyeksi positif. Masuknya PTRO ke dalam grup Barito mendorong perseroan untuk berfokus kembali pada bisnis inti, yakni layanan EPC dan jasa kontraktor pertambangan.
“Kami estimasikan laba bersih PTRO dapat tumbuh 66 persen CAGR pada 2024–2028F, didorong oleh peningkatan kontribusi kontrak eksternal baru dan penugasan proyek EPC dari entitas afiliasi untuk memperkuat nilai ekonomi dalam ekosistem grup,” tulis riset tersebut.