Juga idak jelas bagaimana perintah likuidasi di Hong Kong akan memengaruhi operasi besar Evergrande di daratan China. Sebagai bekas jajahan Inggris, Hong Kong beroperasi di bawah sistem hukum yang terpisah, meski semakin dipengaruhi oleh sistem hukum China yang komunis. Dalam beberapa kasus, pengadilan di China daratan mengakui keputusan kebangkrutan di Hong Kong.
CEO Evergrande Shawn Siu mengatakan bahwa perusahaannya prihatin dengan perintah likuidasi tersebut. Dia menekankan bahwa perintah tersebut hanya memengaruhi unit China Evergrande yang terdaftar di Hong Kong. Menurutnya, unit grup di dalam dan luar negeri adalah badan hukum yang berbeda. Siu menambahkan bahwa Evergrande akan berusaha untuk terus beroperasi dan menyerahkan properti kepada pembeli.
Evergrande pertama kali gagal memenuhi kewajiban keuangannya pada 2021, setahun setelah Beijing membatasi pinjaman kepada pengembang properti dalam upaya untuk mendinginkan bubble di sektor tersebut.
Real estate mendorong pertumbuhan ekonomi China, namun para pengembang meminjam banyak uang ketika mereka mengubah kota menjadi hutan apartemen dan gedung perkantoran. Hal ini telah mendorong total utang korporasi, pemerintah, dan rumah tangga hingga setara dengan lebih dari 300% output perekonomian tahunan, yang merupakan angka yang sangat tinggi bagi negara berpendapatan menengah.
Dampak dari krisis properti juga berdampak pada industri perbankan bayangan China – lembaga yang menyediakan layanan keuangan serupa dengan bank tetapi beroperasi di luar peraturan perbankan, seperti Zhongzhi Enterprise Group. Zhongzhi, yang banyak memberikan pinjaman kepada pengembang, menyatakan perusahaannya bangkrut. (WHY)