BANKING

Menakar Risiko Perluasan Peran Baru BI dalam Revisi UU P2SK

Anggie Ariesta 01/10/2025 10:35 WIB

Menurut Achmad, memformalkan peran baru ini akan menyejajarkan BI dengan bank sentral modern. Namun

Menakar Risiko Perluasan Peran Baru BI dalam Revisi UU P2SK. (Foto Istimewa)

IDXChannel - Wacana revisi Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU P2SK) yang akan memberikan mandat eksplisit kepada Bank Indonesia (BI) untuk mendukung pertumbuhan sektor riil dan penciptaan lapangan kerja dinilai sebagai langkah yang tepat.

Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat mengatakan, langkah ini harus diikuti dengan penguatan rambu kelembagaan dan tata kelola secara tegas.

Menurut Achmad, memformalkan peran baru ini akan menyejajarkan BI dengan bank sentral modern. Namun, tanpa syarat yang ketat, niat baik tersebut berisiko menjadi mission creep yang merusak kredibilitas moneter.

"Analogi sederhana: stabilitas harga adalah rem dan kemudi; pertumbuhan dan pekerjaan adalah tujuan perjalanan," ujarnya dalam keterangannya, dikutip pada Rabu (1/10/2025).

Achmad menyatakan, peran baru bagi BI tepat, asalkan diterapkan dengan hirarki tujuan yang ketat. Mandat utama BI, yaitu stabilitas nilai Rupiah (stabilitas harga), harus tetap dipertahankan sebagai tujuan utama (primary objective).

Tujuan pertumbuhan dan lapangan kerja harus menjadi supporting objective yang diupayakan sepanjang tidak mengorbankan jangkar inflasi.

Achmad menyebut, melalui kerangka inflation targeting, kebijakan makroprudensial, dan infrastruktur pembayaran yang ada seperti QRIS dan BI-FAST, BI sudah memiliki perangkat dan kredibilitas untuk menciptakan iklim moneter yang kondusif bagi sektor riil.

Achmad mengidentifikasi tiga risiko utama jika mandat BI melebar tanpa definisi operasional yang jelas, yaitu Mission Creep, Time Inconsistency dan Fiscal Dominance.

Untuk mengelola risiko ini, dia merekomendasikan tiga pagar utama: (a) hirarki tujuan yang tegas dalam undang-undang, (b) indikator operasional yang terukur, dan (c) tata kelola akuntabilitas yang kuat namun non-politis.

Terkait wacana mekanisme pemberhentian anggota Dewan Gubernur BI melalui evaluasi DPR, Achmad memberikan peringatan keras.

"Menjadikan 'hasil evaluasi' sebagai dasar pemberhentian berpotensi menggerus independensi substantif," kata dia.

Menurutnya, di banyak praktik kelembagaan, pemberhentian harus dibatasi pada alasan sempit, seperti pelanggaran hukum berat, bukan perbedaan pandangan kebijakan.

Sehingga, jika kebijakan suku bunga bisa dinegosiasikan lewat ancaman pemberhentian, pasar akan menangkap sinyal politisasi moneter. Konsekuensinya yakni volatilitas meningkat, rupiah tertekan, biaya pendanaan naik, dan dunia usaha menahan investasi.

"Solusinya bukan meniadakan pengawasan, tetapi memagari prosedur agar DPR tetap kuat dalam oversight tanpa memiliki override kebijakan atau kewenangan pemberhentian berbasis penilaian kebijakan semata," kata dia.

Achmad menyimpulkan, mengubah pengawasan DPR menjadi dasar pemberhentian berbasis evaluasi kebijakan berisiko menurunkan kredibilitas moneter.

"Kita butuh rem yang andal, kemudi yang lurus, dan pedal gas yang diinjak dengan cermat," katanya.

(Dhera Arizona)

SHARE