Sebelum Rupiah, Indonesia Pernah Punya Uang Namanya RIS
Sebelum penggunaan mata uang Rupiah, Indonesia sempat beberapa kali berganti mata uang, salah satunya RIS.
IDXChannel - Sebelum penggunaan mata uang Rupiah, Indonesia sempat beberapa kali berganti mata uang. Hal tersebut terjadi karena ada beberapa permasalahan ekonomi juga sebagai proses menemukan mata uang tunggal untuk Indonesia.
Dari salah satu hasil perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) yang dilakukan pada tanggal 23 Agustus sampai 2 November 1949, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949. Kemudian dibentuklah Negara Federal Republik Indonesia Serikat (RIS) yang terdiri dari Republik Indonesia dan Bijeenkomst voor Federaal Overlaag (BFO) atau Badan Permusyawaratan Federal yang lebih dikenal dengan Negara boneka bentukan Belanda.
Kemudian, pada 1 Januari 1950 uang Republik Indonesia Serikat (RIS) atau juga disebut uang federal atau uang DJB terbit dalam pecahan Rp5 dan Rp10 dengan tanggal emisi “Djakarta 1 Djanuari 1950”. Terbitnya uang RIS ini ditandatangani Menteri Keuangan Sjafruddin Prawiranegara. Karena uang RIS ini menampilkan gambar Soekarno, Presiden RIS, sehingga uang tersebut dikenal pula dengan sebutan “emisi Bung Karno”.
Uang RIS baru beredar dan digunakan pada bulan-bulan sesudahnya, kendati terbit pada 1 Januari 1950. Hal tersebut dikarenakan pemerintah masih dalam proses untuk menciptakan sistem keuangan yang tunggal dengan mempersatukan beraneka ragam uang yang beredar di masyarakat, dikutip dari buku bertajuk Keindonesiaan dalam Uang: Sejarah Uang Kertas Indonesia oleh Sri Margana (2018). Pada tanggal yang sama, Sjafruddin mengumumkan bahwa uang kertas RIS menjadi alat pembayaran yang sah di seluruh wilayah RIS.
Aturan pengeluaran uang RIS juga tercatat pada Undang-Undang Darurat tanggal 2 Juni 1950 yang mulai diberlakukan pada 31 Mei 1950. UU ini mengatur berbagai hal tentang pengeluaran uang kertas atas tanggungan Pemerintah RIS.
Karena uang RIS diberlakukan, maka Oeang Republik Indonesia (ORI) dinyatakan ditarik dari peredaran dan hilang sifatnya sebagai alat pembayaran yang sah, terhitung 1 Mei 1950. Penyeragaman mata uang ini dilakukan pula untuk menghapus peredaran berbagai jenis mata uang dengan nilai tukar berbeda-beda, seperti ORI dan ORIDA, bahkan “uang NICA”.
Untuk menekan inflasi dan mendorong ekspor dari pelaku usaha dalam negeri, lahirlah kebijakan moneter yang terkenal dengan istilah ‘’Gunting Sjafruddin’’. Istilah tersebut digunakan karena uang kertas lama De Javasche Bank (DJB) dan mata uang Hindia Belanda pecahan f5 ke atas digunting menjadi dua bagian. Bagian kiri uang yang digunting tetap berlaku sebagai alat pembayaran dengan nominal setengah dari nilai semula. Sedangkan bagian kanan uang yang digunting digunakan sebagai alat pinjaman obligasi dengan nilai setengah dari nilai uang semula.
Guntingan uang bagian kiri ini kemudian harus ditukarkan dengan mata uang baru dalam jangka waktu tertentu. Masa penukaran uang dibatasi hingga 21 Juni 1950 dengan batas penukaran per orang maksimum f50. Penukaran f1 RIS setara Rp125 ORI, sedangkan untuk ORIDA disesuaikan dengan kondisi tiap mata uang.
Dengan beredarnya uang RIS, berakhirlah kekacauan sirkulasi uang yang berlangsung sejak lama serta tercapai penyeragaman mata uang. Namun masalah tidak selesai begitu saja, pemerintah Indonesia tidak leluasa mengendalikan perekonomian sepenuhnya karena sirkulasi uang masih dipegang oleh DJB.
Di mana saat itu DJB masih bergantung pada pemerintah Belanda. Tindakan nasionalisasi akhirnya diambil Menteri Keuangan Djojohadikusumo, termasuk masalah utang sesuai perjanjian KMB, tanpa menghiraukan Belanda.
Di saat Belanda berusaha mempertahankan kekuasaan atas DJB, nasionalisasi berjalan mulus. Nasionalisasi dilaksanakan dengan membeli saham-saham dari para pemilik di dalam maupun luar negeri. Pada Desember 1952 DJB resmi dinasionalisasi oleh pemerintah dan kemudian menjadi Bank Indonesia (BI) di tahun 1953 dengan peran sebagai bank sentral.
Di sisi lain, bentuk negara serikat memicu pertentangan antara kaum federalis dan unitaris, yang antara lain mewujud dalam sejumlah pemberontakan di daerah. Situasi politik dan gangguan keamanan itu tentu berpengaruh terhadap stabilitas ekonomi. Akhirnya pada 17 Agustus 1950, pemerintah RI menyatakan RIS bubar. Bentuk pemerintahan pun kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan dibubarkannya Republik Indonesia Serikat, maka berakhir pula penggunaan mata uang RIS di Indonesia. (Risa Maharani Putri – Litbang MPI)
)