ECONOMIA

Interview with Leaders - Karena Tak Ada Obat yang Manjur untuk Semua Penyakit

Taufan Sukma/IDX Channel 10/11/2022 08:17 WIB

Segala ketidaksempurnaan yang ada pada realitas, akan selalu memiliki wajahnya sendiri, yang akan sangat berbeda antara satudengan yang lain.

Interview with Leaders - Karena Tak Ada Obat yang Manjur untuk Semua Penyakit (foto: istimewa)

IDXChannel - "All happy families are alike; each unhappy family is unhappy in its own way.”

Kalimat singkat itu ditulis oleh seorang sastrawan sekaligus filsuf Rusia, Leo Tolstoy, sebagai kalimat pembuka dalam salah satu novel masterpiece karyanya, Anna Karenina.

Sebuah kalimat yang ingin menggambarkan betapa kacau-balaunya kondisi rumah tangga dari Stepan Arkadyich Oblonskii, seorang aritokrat berkedudukan tinggi, yang merupakan kakak kandung dari Anna Arkadievna Karenina, tokoh sentral dalam novel tersebut.

Sebuah kalimat yang berupaya menempatkan realitas dan idealitas dalam posisi yang saling berhadap-hadapan. Betapa idealitas, dengan konsep kesempurnaannya, akan selalu memiliki standar yang sama untuk semua orang, di semua tempat, di setiap waktu.

Namun, segala ketidaksempurnaan yang ada pada realitas, akan selalu memiliki wajahnya sendiri, jalannya sendiri, dengan segala tantangannya sendiri, yang akan sangat berbeda antara satu dengan yang lain.

Kondisi tersebut terjadi di setiap realitas di berbagai sektor kehidupan. Tak terkecuali di bidang ekonomi dan dunia keuangan, termasuk juga di sektor industri jasa keuangan nasional. 

Di antara berbagai tantangan yang ada di industri jasa keuangan, ada sebagian masalah laten yang seolah terkesan sepele, namun tak kunjung terselesaikan dari waktu ke waktu. Sebut saja soal literasi dan aksesibilitas masyarakat terhadap produk jasa keuangan.

Mencoba membahas masalah lebih jauh terkait masalah ini, tim redaksi idxchannel.com berkesempatan berbincang dengan Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen, Friderica Widyasari Dewi.

Berikut ini sebagian hal penting yang kami bahas dalam perbincangan tersebut.

Q: Sebagai Dewan Komisioner OJK yang membidangi permasalahan edukasi dan juga perlindungan konsumen, bagaimana Ibu melihat tentang masih rendahnya tingkat literasi dan aksesibilitas masyarakat terhadap produk jasa keuangan?

Memang dua hal itu, soal literasi dan aksesibilitas masyarakat, menjadi salah satu Pe-eR (pekerjaan rumah-red) besar di industri jasa keuangan kita. Tidak hanya bagi OJK, tapi juga untuk kita semua, seluruh stakeholder yang ada di ekosistem jasa keuangan nasional.

Semua harus bekerja bersama, mengambil peran sesuai porsinya masing-masing, saling bersinergi untuk mencari solusi bersama. Kenapa? Karena manfaatnya ini juga untuk kita semua. Jadi semua saling kait-mengkait. Nggak bisa jalan sendiri-sendiri. Semua perlu berkolaborasi.

Q: Bagaimana cara agar mendorong semua pihak itu, semua stakeholder itu, untuk bisa saling berkoordinasi, bersinergi bersama, dengan segala pola pikir dan kepentingan yang juga berbeda-beda?

Bahwa pola pikir masing-masing kita berbeda, itu bisa jadi, karena kita masing-masing datang dari lembaga dan pendekatan profesional yang berbeda. Tapi apakah kepentingan kita berbeda? Tidak. Mungkin agak sedikit berbeda, tapi masih dalam satu garis besar yang sama, yaitu meningkatkan inklusi keuangan bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Karena itu kita sekarang punya yang namanya TPAKD. Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah. Di situ semua pihak berkumpul, mulai dari kita, OJK, lalu lembaga keuangannya sendiri, perbankan nasional, perbankan lokal, sampai kepala-kepala daerah berikut dengan jajarannya, mulai dari lurah, camat, sampai walikota, bupati. Mereka-mereka ini yang di ada di lapangan secara langsung, yang lebih tahu kondisi dan tipologi masyarakat di wilayahnya.

Semua pihak terkait ini berkumpul, memetakan masalah yang ada di daerahnya seperti apa, kondisinya bagaimana, lalu solusi yang bisa diupayakan seperti apa. Kita bahas semuanya bersama, agar bisa benar-benar memecahkan masalah yang ada di lapangan.

Q: Lalu bagaimana perkembangannya saat ini? Sejauh mana TPAKD ini sudah berjalan dan bisa menjawab permasalahan yang ada di daerah?

Alhamdulillah sudah berjalan dengan baik. Progressnya juga sudah bagus. Di seluruh Indonesia sudah jalan. Sudah ada 452 TPAKD yang tersebar di berbagai wilayah. Yang kita lihat tadi, di Jogja, sudah berjalan dengan sangat baik. Kita sudah masuk di 300 desa.

Lalu kemarin Saya juga ke Malang, Jawa Timur. Sudah ada 400-an lurah dan camat yang bergabung. Senin nanti Saya ke Samarinda untuk pengukuhan tim TPAKD di sana. Di Sulawesi, di Sumatera, semua sudah jalan. Di Padang itu kita sudah kumpulkan 900 nagari untuk gabung, dan sudah berjalan lancar.

Bahkan sampai di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) kita juga sudah masuk ke sana. Tinggal kita dorong terus agar semakin banyak daerah dan wilayah yang bisa kita cover dengan TPAKD sehingga segala permasalahan satu per satu bisa kita carikan solusinya.

Q: Dari semua upaya itu, dari seluruh program TPAKD tersebut, apakah ada target riil yang ingin dicapai, misal capaian angka-angka yang bisa terukur sampai dengan akhir tahun, atau misalnya dalam beberapa tahun ke depan?

Nggak. OJK cara kerjanya tidak seperti itu. Bukan berarti tidak ada target, tapi cara kerja kami lebih berfokus pada memberi impact ke masyarakat. Memberi manfaat kepada daerah.

Jadi harapan kami bagaimana agar di seluruh daerah itu akan ada TPAKD. Sekarang mungkin sudah 83 persen seluruh daerah di Indonesia sudah punya TPAKD. Harapan ke depan kita usahakan agar bisa 100 persen.

Lalu misal soal KUR (Kredit Usaha Rakyat-red), kita juga harus jalan bareng-bareng dengan lembaga jasa keuangan setempat. Dengan banknya. Dengan BPR(bank perkreditan rakyat)nya. Nggak mungkin kita terlalu mendorong, dengan 'merem' tanpa melihat kondisi di lapangan.

Kalau kita paksa dorong, risikonya kan ke NPL (Non Performing Loan/rasio kredit bermasalah). Jadi nggak bagus juga. Nggak bisa dipaksa-paksa gitu. Peran kita lebih pada mengkonsolidasikan, di daerah ini masalahnya seperti ini, maka ini yang dibutuhkan. Lalu kita coba lihat (masalahnya). Kita dorong melalui Pemdanya. Solusi terbaiknya bagaimana. Win-win solutionnya seperti apa. Jika sudah ketemu, kita gerak bareng-bareng di lapangan.

Itu tadi bisa kita lihat kasus di Jogja. Anda bisa dengar sendiri kisahnya Bu Ninik, pedagang ultra mikro di daerah Taman Sari. Dulu dia dan teman-temannya sesama pedagang pinjam modalnya ke rentenir. Pinjam Rp1 juta, bayarnya Rp1,5 juta dalam tempo sebulan. Kan ngeri banget itu.

Makanya kita rembugan bareng, dengan perbankannya, dengan pemda, lurah, camat, tokoh masyarakat dan sebagainya, kita carikan solusinya seperti apa. Sekarang dengan bank daerah setempat, kita bisa sediakan fasilitas pinjaman modal dengan bunga hanya tiga persen setahun. Ini kan (manfaatnya-red) nyata dan terasa banget.

Q: Dari pengalaman di lapangan sejauh ini, seperti kasus di Jogja tadi, problem apa saja yang paling banyak ditemui TPAKD dalam kinerjanya di daerah?

Kalau kita bicara problem, most likely tidak ada ya. Maksudnya gini, kalau kita bicara tentang TPAKD dengan kepala daerah, misalnya, atau lembaga jasa keuangan setempat, pasti responsnya baik. Kenapa? Karena bagi kepala daerah, TPAKD ini penting untuk kebutuhan masyarakatnya. Untuk lembaga jasa keuangan setempat, ini juga bagus untuk meningkatkan kinerjanya. Jadi tidak ada masalah.

Hanya saja, soal geraknya di lapangan, soal prosesnya di masyarakat, itu bervariasi. Ada yang sudah jalan duluan, ada yang lebih lambat. Kenapa bisa gitu? Karena setiap daerah itu berbeda dan unik.

Istilahnya, tidak ada satu obat yang manjur untuk semua penyakit. Semuanya punya kekhasannya masing-masing. Begitu pun di setiap masalah, di setiap daerah, pasti butuh pendekatan yang berbeda.

Ada daerah yang simpul masyarakatnya lebih ke komunitas nelayan, berarti program yang kita siapkan yang specially untuk nelayan. Lalu yang masyarakatnya petani, mereka buruh tani yang tidak punya lahan sendiri, maka treatment yang dibutuhkan beda lagi. Bentuk pembiayaannya beda lagi. 
Untuk UMKM yang perajin produk seni, atau yang penyedia jasa, pendekatan kita pasti berbeda antara satu dengan yang lain. Ada yang bisa kita kasih kredit tanpa agunan, ada yang harus dengan agunan. Nah kalau harus agunan tapi merek tidak ada yang bisa diagunkan, maka solusinya bagaimana.

Misal kita bikin kelompok usaha, lalu yang tanggung jawab tokoh masyarakat di sana. Sehingga kalau sampai nunggak, tokoh masyarakat ini langsung yang menagih, sehingga NPLnya bisa kita bilang nol. Seperti itu. Jadi istilah yang tepat, lebih pada business matching.

Dan proses ini nggak bisa kita targetkan secara nasional, misalnya, bahwa mereka harus gini, harus gitu, tanpa melihat kondisi di masing-masing daerah tadi seperti apa. Tidak bisa.

Karena selain tidak bijak, secara risiko juga akan panjang lagi urusannya. Yang ada bukannya menyelesaikan masalah, mencarikan solusi, malah muncul masalah baru. Ini kita harus hati-hati dan tidak bisa gegabah.

Ketika kita sibuk mengejar target, itu kesannya OJK centris. Regulator centris. Bukan. Cara kerja OJK bukan seperti itu. Kita lebih ke people centris, public centris. Lebih fokus pada customer centris. (TSA)

SHARE