ECONOMICS

17 Tahun Berlalu, Berikut Fakta Terbaru Lumpur Lapindo

Tim IDXChannel 23/09/2022 19:32 WIB

Semburan lumpur panas di lokasi pengeboran milik PT Lapindo Brantas sejak 29 Mei 2006 lalu masih menyisakan kisah pilu.

17 Tahun Berlalu, Berikut Fakta Terbaru Lumpur Lapindo (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Semburan lumpur panas di lokasi pengeboran milik PT Lapindo Brantas sejak 29 Mei 2006 lalu masih menyisakan kisah pilu.

Sejumlah desa di Sidoarjo, Jawa Timur ini menghilang dan puluhan ribu warga terpaksa mengungsi dan merintis kehidupan baru di tempat lain. Bahkan, hingga 13 tahun berselang mereka masih belum mendapatkan kompensasi yang layak.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pun mencecar pemerintah mengenai nasib ganti rugi korban lumpur Lapindo di Sidoarjo. Sejumlah Anggota Banggar DPR RI melontarkan pertanyaan saat rapat dengan Kementerian Keuangan dan Kementerian/Lembaga lainnya.

Salah satu anggota mengungkap ketidakpastian ganti rugi korban semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo sudah hampir 17 tahun tak kunjung selesai. Anggota Banggar Sungkono mengatakan padahal ada putusan bahwa negara harus hadir dalam menyelesaikan kasus tersebut.

"Sudah hampir 17 tahun berjalan belum diselesaikan, terutama para pengusaha. Penderitaan ini pemerintah tidak hadir di sini. Sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2013, negara harus hadir dalam rangka menyelesaikan program lumpur Lapindo," jelasnya dalam rapat Banggar DPR RI, kemarin, ditulis Rabu (21/9/2022).

Berikut sederet fakta lumpur lapindo: 

1. Penyebab Awal Semburan Lumpur Lapindo

Semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo genap berusia 16 tahun pada 29 Mei 2022 kemarin dan berjalan masuk 17 tahun. Hingga saat ini pun semburan lumpur itu diketahui juga belum berhenti.

Adapun penyebab awal dari semburan lumpur itu, awalnya pada 18 Mei 2006. PT Lapindo Brantas sempat melakukan pengeboran mencapai 8.500 kaki. Adapun lokasi lumpur ini diketahui berada di sumur Banjar Panji 1, Porong, Sidoarjo.

Selama proses pengeboran ini pihak perusahaan sempat diingatkan soal pemasangan pipa selubung yang harus dilakukan sebelum pengeboran. Kemudian, lumpur itu diketahui menyembur dua hari setelah gempa bumi di Yogyakarta. Hingga saat ini belum ada pembuktian secara ilmiah apakah gempa tersebut turut mempengaruhi semburan lumpur.

Meski demikian banyak orang yang percaya kedua bencana ini saling terkait. Pada 29 Mei 2006 lumpur Lapindo itu menyempur pertama kali pada 05.30 WIB. Adapun jarak pemukiman warga dengan lokasi lumpur hanya 150 meter.

2. Pemerintah Ungkap Fakta Baru

Sekretaris Jenderal Kementerian PUPR Mohammad Zainal Fatah pun buka suara berkaitan dengan pembayaran ganti rugi kepada para korban semburan lumpur Lapindo.

Berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi pada 2013 junto 2015, memang negara harus menjamin pelunasan ganti rugi korban lumpur Lapindo. Hanya saja, menurutnya putusan itu ada hal yang harus digaris bawahi.

Hal yang harus digarisbawahi itu adalah kalimat "pelunasan oleh perusahaan tersebut dilakukan oleh perusahaan yang bertanggung jawab untuk itu," ujar Zainal.

"Keputusan MK 2013 junto 2015 juga, bahwa disitu memang diarahkan negara menjamin dan memastikan pelunasan ganti kerugian sebagaimana mestinya kepada masyarakat oleh perusahaan yang bertanggung jawab untuk itu. Amar di situ tidak putus sampai di situ, pelunasan oleh perusahaan tersebut dilakukan oleh perusahaan yang bertanggung jawab untuk itu," jelasnya.

Dia mengungkap fakta baru yang belum diungkap ke publik yakni hasil audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

"Setelah diaudit dari BPKP, ditemukan dua fakta yang sebelumnya mungkin belum pernah terungkap. Di perjanjian nomer 4 dan 5, intinya di situ adalah para pihak yang bersepakat, apabila pihak Minarak (PT Minarak Lapindo Jaya) tidak bisa melunasi, maka 30% uang muka yang sudah diberikan itu tidak boleh ditarik dan sertifikat yang disimpan di safety box itu diambil oleh pihak yang memiliki tanah," ungkapnya.

3. Ganti Rugi Ditalangi Pemerintah

Seperti diketahui kasus lumpur Lapindo di Sidoarjo ini dikerjakan oleh perusahaan dari Bakrie Group. Untuk menanggulangi masalah semburan lumpur panas tersebut, pemerintah memberikan talangan dana yang diberikan kepada PT Lapindo Minarak Jaya (LMJ).

Dana itu diberikan pada Maret 2007. Saat itu pemerintah memberikan dana talangan untuk ganti rugi bencana Lumpur Lapindo melalui perjanjian Pemberian Pinjaman Dana Antisipasi untuk Melunasi Pembelian Tanah dan Bangunan Warga Korban Luapan Lumpur Sidoarjo dalam Peta Area Terdampak 22 Maret 2007.

Pada saat itu perusahaan Bakrie memperoleh pinjaman Rp 781,68 miliar, namun utang yang ditarik dari pemerintah (dana talangan) sebesar Rp 773,8 miliar. Perjanjian pinjaman tersebut memiliki tenor 4 tahun dengan suku bunga 4,8%.

Sedangkan denda yang disepakati adalah 1/1.000 per hari dari nilai pinjaman. Kala perjanjian disepakati, Lapindo akan mencicil empat kali sehingga tidak perlu membayar denda atau lunas pada 2019 lalu.

4. Utang Lapindo Dikejar Sri Mulyani

Nyatanya hingga saat jatuh tempo, Lapindo baru mencicil satu kali dan besarannya hanya Rp 5 miliar dari total utang Rp 773,8 miliar tersebut. Sampai saat ini belum ada pembayaran lanjutan sehingga utangnya makin bertambah karena denda terus berjalan.

Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Rionald Silaban pernah mengatakan utang LMJ per 31 Desember 2020 mencapai Rp 2 triliun lebih atau tepatnya Rp 2.233.941.033.474. Jumlah itu termasuk pokok, bunga, dan denda yang harus dibayar.

Rio menyebut pihak LMJ sudah meminta agar aset yang bersangkutan disita untuk melunasi utangnya. Meski begitu, pihaknya lebih memilih agar pembayaran utang dilakukan secara tunai, bukan aset.

(DES/ Ridho Hatmanto)

SHARE