Ada Sinyal Lesunya Daya Beli Kelas Menengah ke Bawah, Apa Saja Penyebabnya?
CORE Indonesia mengungkap faktor-faktor yang menjadi penyebab melemahnya daya beli kelompok rumah tangga kelas menengah dan menengah bawah saat ini.
IDXChannel - Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia mengungkap faktor-faktor yang menjadi penyebab melemahnya daya beli kelompok rumah tangga kelas menengah dan menengah bawah saat ini.
Hal tersebut diungkap dalam CORE Insight bertajuk Awas Anomali Konsumsi Jelang Lebaran yang dirilis Kamis (27/3/2025).
Beberapa kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang terjadi di sektor industri manufaktur, sulitnya mendapatkan pekerjaan di sektor formal, dan melambatnya pertumbuhan upah riil pekerja di sektor manufaktur dan pertanian berkontribusi signifikan terhadap melemahnya daya beli kelompok rumah tangga kelas menengah dan menengah bawah.
1. PHK Massal
PHK massal yang terjadi di sektor manufaktur adalah faktor signifikan terhadap anomali konsumsi rumah tangga menjelang lebaran 2025. PHK PT Sri Rejeki Isman (PT Sritex) yang mengorbankan 10.655 pekerja pada 26 Februari 2025 mengawali kabar buruk tersebut.
Sritex bukanlah satu-satunya PHK yang terjadi. Sebab, PHK massal sebetulnya sudah mulai terjadi sejak 2022. Tercatat, 60 industri padat karya di sektor tekstil merumahkan karyawannya sepanjang 2022-2024.
Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menyebut jumlah karyawan industri tekstil yang di-PHK mencapai kurang lebih 227 ribu pekerja pada 2022-2025, di luar Sritex.
Jumlah PHK dari industri tekstil memang terjadi dengan masif, terutama pabrik-pabrik skala menengah dengan input karyawan berkisar ratusan.
Sementara itu, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat jumlah karyawan yang di-PHK pada Januari 2025 saja mencapai 3.325 pekerja. Dari jumlah tersebut, PHK terbanyak terjadi di Jakarta (2.650 pekerja). Sedangkan sepanjang 2024, Kemnaker mencatat sebanyak 77.965 pekerja di-PHK.
Dari jumlah tersebut, 69 persen terjadi di DKI Jakarta (17.085), Jawa Tengah (13.130), Banten (13.042), dan Jawa Barat (10.661). PHK masif tersebut diperkirakan masih akan disusul pabrik- pabrik lainnya.
Terbukti, PT Sanken Indonesia akan tutup pada Juni 2025 dan PT Yamaha Music pada Desember 2025.
2. Sulit Mencari Kerja di Sektor Formal
Selain fenomena PHK besar-besaran, sulitnya mencari pekerjaan yang layak bagi pekerja kerah putih juga menjadi faktor menurunnya pendapatan dari yang selayaknya diterima.
Kemudian, melambatnya pertumbuhan upah riil di sektor industri, perdagangan, pertanian, dan jasa lainnya menambah beban rumah tangga pekerja.
Upah riil adalah jumlah barang dan jasa yang dapat dibeli dengan upah nominal yang diterima pekerja. Upah ini mencerminkan daya beli pekerja setelah memperhitungkan inflasi.
Upah riil sektor industri manufaktur yang diharapkan mampu menjadi bantalan bagi masyarakat, justru menyebabkan penurunan daya beli pekerja sektor tersebut sebesar 0,7 persen pada 2024. Padahal, pada 2022 dan 2023, daya beli pekerja manufaktur masih meningkat sekitar 5,6 persen.
Begitu juga dengan upah riil sektor pertanian terkontraksi 0,6 persen. Sektor penyedia akomodasi dan makanan minuman turun 1,4 persen.
Upah riil sektor perdagangan, meskipun tidak terkontraksi, menunjukkan perlambatan sebesar 0,1 persen pada 2024, jika dibandingkan dengan pertumbuhan 10 persen pada 2022.
Kontraksi dan perlambatan pertumbuhan upah riil ini menjadi sumber utama ganjalan daya beli kelompok rumah tangga kelas menengah dan menengah ke bawah.
Dengan kemampuan seadanya, rumah tangga harus mengompensasi kebutuhan yang semakin banyak, terutama untuk keperluan perumahan dan fasilitas rumah tangga dan makanan minuman.
"Berbagai akumulasi faktor yang sudah terjadi sejak 2024 di atas memicu pelemahan daya beli kelompok rumah tangga kelas menengah dan menengah ke bawah. Polemik ini tidak bisa dibiarkan saja, sebab berkaitan dengan konteks makro yang lebih luas," demikian CORE Insight.
(NIA DEVIYANA)