ECONOMICS

Ancaman Resesi Global, Beli Rumah atau Menabung?

Maulina Ulfa - Riset 20/09/2022 12:19 WIB

Di tengah kondisi perekonomian global yang rentan, menabung bagi generasi milenilal dan Gen Z dapat menjadi prioritas utama.

Ancaman Resesi Global, Beli Rumah atau Menabung? (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Dalam laporan terbaru berjudul ‘Is a Global Recession Imminent?’ Bank Dunia melaporkan ancaman resesi global pada 2023 sudah didepan mata. Tak lain, karena meningkatnya tren kenaikan suku bunga oleh bank sentral di seluruh dunia.

Menurut Bank Dunia, terdapat tiga skenario yang bisa menyebabkan resesi ekonomi global terjadi menggunakan analisis model lintas negara berskala besar.

Dalam skenario baseline pertama Bank Dunia memperkiraan pertumbuhan dan inflasi baru-baru ini, serta ekspektasi pasar untuk kebijakan suku bunga berdasarkan apa yang terjadi saat ini.

"Tingkat pengetatan kebijakan moneter saat ini tidak cukup untuk mengembalikan tingkat inflasi ke tingkat rendahnya," tulis Bank Dunia dalam laporannya.

Skenario kedua Bank Dunia mengasumsikan kenaikan ekspektasi inflasi yang memicu pengetatan kebijakan moneter oleh sejumlah bank sentral di dunia.

Dalam skenario kedua ini, ekonomi global masih akan lolos dari resesi pada 2023, namun akan mengalami penurunan tajam namun tidak mengembalikan inflasi ke tingkat yang rendah.

Skenario terakhir adalah adanya kebijakan kenaikan suku bunga akan memicu re-pricing risiko yang tajam di pasar keuangan global. Hal ini yang akan mengakibatkan resesi global pada 2023.

Sementara saat ini semua mata tertuju pada the Fed yang akan memutuskan kebijakan suku bunganya pada pertemuan FOMC Selasa - Rabu, 20 - 21 September 2022. Sedangkan Bank Indonesia (BI) juga bakal menyelenggarakan Rapat Dewan Gubernur BI pada Rabu-Kamis, 21-22 September 2022.

Sejauh ini pasar masih memproyeksikan Fed bakal mengerek suku bunga sebesar 75 basis poin (bps), menambah poin persentase yang sama pada kebijakan sebelumnya. Namun, lonjakan suku bunga 100 bps kian terbuka, setelah suku bunga berjangka AS memperkirakan peluang sekitar 20%

Bagaimana Nasib Sektor Properti?

Di Amerika Serikat (AS), kebijakan suku bunga the Fed sangat mempengaruhi sektor property negeri Paman Sam tersebut. Melansir Time, tingkat mortgage rate atau bunga kredit perumahan (KPR) tetap 30 tahun naik sepuluh basis poin menjadi 6,12% per minggu lalu berdasarkan survei Bankrate.

Kondisi ini secara drastis dapat mempengaruhi pasar pembelian rumah. Kenaikan ini tercatat dua kali lipat sejak awal tahun karena kondisi inflasi yang tinggi.

Sementara itu, sebuah survei serupa dari Freddie Mac, menunjukkan kenaikan rata-rata bunga KPR atawa mortgage rates sebesar 6,02% – pertama kalinya di atas 6% sejak November 2008.

Meskipun demikian, putusan the Fed untuk menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin ataupun 100 basis poin tidak akan berdampak langsung pada mortgage rates ini. Namun, kemungkinan akan menyebabkan beberapa perubahan. Hal ini diungkapkan oleh Shashank Shekhar, founder dan CEO InstaMortgage, aplikasi lender mortgage, mengutip Time.

"Suku bunga mortgage cenderung naik lebih tinggi ketika terjadi inflasi yang lebih kuat, tetapi tidak ada korelasi langsung dengan tingkat bunga the Fed,” kata Shekhar, mengutip Time (20/9).

Menurutnya, hanya karena suku bunga Fed akan naik tidak berarti semua suku bunga akan melakukan hal yang sama. Namun satu kemungkinan, menurutnya, pasar suku bunga mortgage telah memperhitungkan kenaikan suku bunga Fed yang diharapkan.

"Dalam beberapa kasus, ketika Fed benar-benar agresif dalam menaikkan suku bunga, suku bunga mortgage bereaksi positif karena mereka pikir itu akan membantu menurunkan inflasi," kata Shekhar.

Di Indonesia, dampak kenaikan suku bunga terhadap sektor properti juga belum terlalu terlihat signifikan. Sektor ini bahkan mulai bertumbuh perlahan pasca terpuruk akibat pandemi Covid-19.

Survei yang dilakukan Lamudi.co.id menunjukkan, upaya pemerintah dalam mendorong pemulihan sektor properti pada awal 2022 dengan beberapa insentif berhasil meningkatkan transaksi properti. 

Beberapa bank nasional mencatatkan pemberian bunga kredit perumahan rakyat (KPR) mulai dari 3,72% hingga 4.38% fixed rate hingga 4 tahun.

Selain itu, Indeks harga properti residensial (IHPR) di Indonesia juga terus mengalami peningkatan sejak 2019, menurut data Statista. Adapun menurut data BI, IHPR juga tercatat meningkat dari tahun ke tahun, termasuk di wilayah Jabodetabek sepanjang 2019 dan diproyeksikan akan terus meningkat mencapai 234,21 poin hingga Q3 2022. (Lihat tabel di bawah ini.)

Hasil Survei Harga Properti Residensial (SHPR) BI juga menunjukkan hal yang sama pada triwulan I-2022. Hal ini tercermin dari pertumbuhan Indeks Harga Properti Residensial (IHPR) yang tercatat 1,87 persen (yoy), lebih tinggi dari pertumbuhan pada triwulan sebelumnya sebesar 1,47 persen (yoy). 

Dari sisi penjualan, hasil survei triwulan I-2022 mengindikasikan adanya perbaikan penjualan properti residensial di pasar primer meskipun masih terkontraksi. Perbaikan tersebut tercermin dari penjualan properti residensial yang terkontraksi sebesar 10,11 persen (yoy) pada triwulan I-2022, lebih baik dari kontraksi triwulan sebelumnya sebesar 11,60 persen (yoy).

Meski demikian, di tengah kondisi perekonomian global yang rentan, menabung bagi generasi milenilal dan Gen Z dapat menjadi prioritas utama dibanding harus membeli rumah melalui skema KPR. Hal ini terkait dengan kemampuan finansial yang masih perlu diperkuat dan stabil jika ingin mengajukan KPR. Di tengah kondisi global yang tidak pasti, kemungkinan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) juga masih menghantui para pekerja.

Sebagai informasi, Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa juga menyebutkan jumlah rekening dengan saldo kurang dari Rp 2 miliar meningkat sebesar 91,73 juta rekening atau bertambah sebanyak 26% YoY pada Januari 2022. (ADF)

SHARE