ECONOMICS

Anggaran Transisi Energi Kena Efisiensi, Pemerintah Diminta Lakukan Ini

Cahya Puteri Abdi Rabbi 17/02/2025 03:13 WIB

Iklim investasi buruk menjadi penyebab target investasi energi terbarukan tidak tercapai.

Anggaran Transisi Energi Kena Efisiensi, Pemerintah Diminta Lakukan Ini. (Foto MNC Media)

IDXChannel - Target bauran energi terbarukan sebesar 23 persen di 2025 diproyeksikan tidak akan tercapai. Salah satu indikatornya adalah investasi di sektor energi baru terbarukan dan konservasi energi (EBTKE) di 2024 yang hanya mencapai USD1,8 miliar dari target USD2,6 miliar.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai iklim investasi buruk menjadi penyebab target investasi energi terbarukan tidak tercapai. Kondisi ini disebabkan oleh berbagai faktor struktural, seperti struktur industri kelistrikan, kebijakan dan regulasi yang kurang berkualitas, risiko negara (country risk), serta preferensi terhadap batu bara melalui kebijakan domestic market obligation (DMO).

"Untuk itu, IESR mendorong pemerintah untuk memperbaiki iklim investasi energi terbarukan dengan meningkatkan kualitas kebijakan dan regulasi, mereformasi kebijakan DMO batu bara, subsidi energi, serta proses pengadaan pembangkit di PLN," ujarnya dalam siaran pers, dikutip pada Minggu (16/2/2025).

Selain itu, IESR juga menekankan pentingnya penyederhanaan perizinan, insentif fiskal untuk meningkatkan bankability proyek energi terbarukan, dan kemudahan akses bagi konsumen untuk mendapatkan energi terbarukan.

Pemerintah, kata dia, dapat memanfaatkan kemitraan internasional seperti Just Energy Transition Partnership (JETP) untuk membiayai proyek energi terbarukan strategis. Komitmen pendanaan dari negara-negara anggota IPG dan GFANZ perlu dimobilisasi untuk menarik investasi yang lebih besar.

“Walaupun target bauran energi terbarukan 23 persen direncanakan digeser ke 2030, pemerintah harus berupaya sebesarnya untuk meningkatkan bauran energi terbarukan di tahun ini,” kata Fabby.

Fabby juga menyoroti pencairan pendanaan JETP yang masih terkesan lambat karena pemerintah kurang cepat menyiapkan usulan proyek yang bankable, mereformasi kebijakan-kebijakan kunci yang menghambat pengembangan energi terbarukan selama ini, dan mengatasi ketidakpastian implementasi JETP pasca pergantian Pemerintah Indonesia pada Oktober tahun lalu.

Di sisi lain, di tengah pemotongan anggaran tahun ini Fabby menyebut, pemerintah harus mengoptimalkan investasi swasta dan publik untuk energi terbarukan. Investasi swasta untuk pembangkit energi dilakukan melalui PLN.

“Di antaranya untuk proyek-proyek PLTS skala utilitas, dan investasi PLTS atap oleh konsumen industri, bisnis dan rumah tangga, yang tidak membutuhkan subsidi pemerintah tapi memerlukan kemudahan perizinan dan kuota PLTS yang lebih besar oleh PLN,” katanya.

Tak hanya itu, IESR juga menyoroti pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam laporan Capaian Sektor ESDM 2024, dengan mencantumkan target 2025 serta menyertakan data capaian bauran energi terbarukan tahun 2024.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, capaian bauran energi terbarukan di 2024 meningkat satu persen dari 13,9 persen di 2023 menjadi 14,1 persen di 2024. Angka ini terbilang kecil jika dibandingkan dengan target bauran yang mesti dicapai pada 2024 adalah 19,5 persen.

“IESR telah berulang kali mendorong pemerintah untuk melakukan evaluasi dan menyiapkan strategi yang inovatif untuk memecah mandeknya pencapaian target bauran energi terbarukan,” ujarnya.

Fabby juga mengapresiasi keputusan pemerintah untuk mengupayakan pensiun dini PLTU Cirebon dan menggantinya dengan 700 MW PLTS dengan penyimpanan baterai, 346 MW PLTS, 1.000 MW PLTB, serta 12 PLTSa. Namun, dia menekankan, proses keputusan akhir untuk pensiun PLTU Cirebon yang sudah berlangsung sejak 2022 belum selesai hingga sekarang. 

“Proses pensiun dini PLTU Cirebon I menjadi referensi dan pembelajaran penting untuk upaya pensiun dini sejumlah PLTU yang secara teknis-ekonomis lebih menguntungkan bagi PLN daripada dioperasikan lebih lanjut. Sesuai kajian IESR ada 4,6 GW PLTU yang berpotensi diakhiri operasinya hingga 2025,” kata Fabby. 

Lebih lanjut, Fabby juga mendorong pemerintah Indonesia untuk mulai merencanakan pembatasan  produksi batu bara yang trennya selalu naik pesat dalam 10 tahun terakhir. Tahun ini produksi batu bara nasional mencapai 836 juta ton, melebihi target 710 juta ton.

Menurutnya, meningkatnya produksi batu bara justru menjadi sinyal melemahnya komitmen transisi energi Indonesia.

“Pemerintah perlu menghitung manfaat dan biaya untuk pengakhiran operasi PLTU secara bertahap hingga 2050, terutama dampaknya terhadap biaya produksi listrik dan subsidi listrik dalam jangka panjang,” katanya.

Terkait investasi energi terbarukan yang masih di bawah target, Fabby menekankan pentingnya sinergi antara Kementerian ESDM, Kementerian Investasi dan Hilirisasi, Kementerian Keuangan Kementerian BUMN, Bappenas, serta Kementerian Luar Negeri guna menciptakan kebijakan yang lebih harmonis dan menarik bagi investor.

(Dhera Arizona)

SHARE