Batu Bara, Melonjak di 2021 Tapi Bakal Meredup dan Tinggalkan
Sepanjang 2021, harga batu bara terus merangkat naik, bahkan dipertengahan tahun hingga menjelang akhir tahun harga mineral ini melesat tinggi.
IDXChannel - Sepanjang 2021, harga batu bara terus merangkat naik, bahkan dipertengahan tahun hingga menjelang akhir tahun harga mineral ini melesat tinggi bahkan mencetak rekor sepanjang sejarah di atas USD280 per ton.
IDXChannel merangkum lonjakan harga batu bara dalam Kaleidoskop, Kamis (16/12/2021), melonjaknya harga batu bara ini dipicu krisis energi dunia terutama di Eropa. Selain itu, faktor kedua tingginya harga batu bara akibat perselisihan antara China dan Australia.
"Kenaikan HBA bulan Oktober 2021 disebabkan oleh permintaan yang terus meningkat di China di mana saat ini kebutuhan batu bara meningkat untuk keperluan pembangkit listrik yang melampaui kapasitas pasokan batu bara domestik. Selain itu juga meningkatnya permintaan batu bara dari Korea Selatan dan kawasan Eropa seiring dengan tingginya harga gas alam," ungkap Kepala Biro Komunikasi Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama Kementerian ESDM, Agung Pribadi.
Sebagai informasi, HBA adalah harga yang diperoleh dari rata-rata Indonesia Coal Index (ICI), Newcastle Export Index (NEX), Globalcoal Newcastle Index (GCNC), dan Platt's 5900 pada bulan sebelumnya, dengan kualitas yang disetarakan pada kalori 6322 kcal/kg GAR, Total Moisture 8 persen, Total Sulphur 0,8 persen, dan Ash 15 persen.
Terdapat dua faktor turunan yang memengaruhi pergerakan HBA yaitu, supply dan demand. Pada faktor turunan supply dipengaruhi oleh season (cuaca), teknis tambang, kebijakan negara supplier, hingga teknis di supply chain seperti kereta, tongkang, maupun loading terminal.
Sementara untuk faktor turunan demand dipengaruhi oleh kebutuhan listrik yang turun berkorelasi dengan kondisi industri, kebijakan impor, dan kompetisi dengan komoditas energi lain, seperti LNG, nuklir, dan hidro.
Harga batu bara sendiri sempat berada pada level USD280 per ton, rekor tertinggi sejak 2008. Sekadar diketahui, sejak akhir 2020 secara tahunan harga komoditas batu bara Indonesia naik hingga 200 persen.
Namun, di tengah melonjaknya komoditas ini diprediksi harga batu bara akan terus turun di masa depan seiring makin ditinggalkannya energi ini. Pasalnya, energi baru baru dianggap biang kerok polusi udara di banyak negara.
Indonesia sendiri sudah berkomitmen untuk tidak lagi menambah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, Indonesia saat ini menargetkan mencapai net zero emission pada tahun 2060 atau lebih awal dan menghilangkan penggunaan batubara pada tahun 2040 atau lebih awal.
"Walaupun pemenuhan energi saat ini masih sangat bergantung pada batubara, tetapi Indonesia berkomitmen untuk tidak lagi membangun pembangkit listrik tenaga batubara," jelas Sri Mulyani.
Dia menyampaikan bahwa terdapat lebih dari 40 negara yang mayoritas menggunakan batubara sebagai sumber energi, termasuk Vietnam dan Chili, akan mulai mengalihkan penggunaan energi batubara. Tetapi, masih ada beberapa pekerjaan rumah yang masih harus dikerjakan dan partisipasi dari negara-negara lain di dunia perlu didorong.
Selanjutnya Menkeu juga mengungkapkan mengenai target carbon net sink untuk kehutanan dan penggunaan lahan pada tahun 2030. Ini juga salah satu kebijakan yang penting bagi Indonesia karena dapat berkontribusi pada pengurangan emisi di Indonesia hingga 60 persen.
"Presiden Jokowi baru-baru ini mengeluarkan Peraturan Presiden tentang Nilai Ekonomi Karbon. Ini adalah langkah baik untuk mulai menggunakan mekanisme harga karbon dan insentif untuk mengurangi emisi dan juga bagus untuk mempromosikan transisi energi hijau serta upaya mencapai target 2030" tambahnya lagi.
Batu Bara Bakal Meredup
Analis Mirae Asset Sekuritas, Juan Harahap memperkirakan akan melihat peningkatan produksi batu bara domestik yang signifikan di China terlebih dahulu pada kuartal IV-2021. Sebab, berdasarkan data Bloomberg, sekitar 220 juta metrik ton kapasitas batu bara brownfield telah diberi lampu hijau dan 120 juta ton masih tertunda.
"Di sisi lain, kami memperkirakan produksi batu bara domestik India terus meningkat, impor batu bara India dapat terus turun pada 2022. Untuk persediaan batu bara India, menurut kami angka bulan September adalah tanda awal bahwa persediaan batu bara akan pulih didukung oleh produksi batu bara domestik yang lebih tinggi di masa mendatang," ujar Juan dalam risetnya.
Selain itu, Konferensi Para Pihak Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadakan pertemuan di Glasgow dari 31 Oktober-13 November untuk KTT tahunan ke-26 (COP26) untuk mengatasi perubahan iklim terlihat banyak tekanan terhadap industri batu bara.
Mirae Asset masih melihat permintaan batu bara China akan bertahan dalam jangka menengah, karena ada sejumlah besar kapasitas pembangkit listrik termal terpasang di China.
"Kami mencatat bahwa pembangkit listrik tenaga batu bara China yang beroperasi sepanjang tahun 2020 meningkat menjadi 1,0 juta MW (+4,2 persen YoY)," katanya.
Lebih lanjut, Mirae Asset mempertahankan permintaan Overweight pada sektor batu bara Indonesia, meskipun mereka memperkirakan asumsi harga batubara rata-rata pada 2022 akan turun menjadi USD100 per ton dari USD126 per ton.
"Namun, kami memperkirakan transisi untuk energi terbarukan masih akan menantang dalam waktu dekat, dan asumsi harga batu bara sebesar USD100 per ton pada 2022 masih menguntungkan bagi industri batu bara Indonesia," tutup Juan.
Head of Research PT Samuel Sekuritas Indonesia, Suria Dharma menuturkan, investor yang ingin melirik saham batu bara bisa mempertimbangkan dari sekarang. Suria melihat saham batu bara masih spekulatif mengingat harganya bisa dari yang menurun dalam menjadi menguat kembali dalam semalam.
"Tapi sebenarnya harga batu bara itu masih tinggi juga dibanding tahun lalu dalam kondisi normal masih tinggi, jadi walau terjadi penurunan dalam sebulan terakhir tapi saya pikir harga sekarang masih bagus banget ya untuk batu bara," katanya.
Bagi yang belum punya emiten batu bara, Suria merekomendasikan untuk melihat dari sisi sektor yang sangat dibutuhkan dan diperlukan saat ini. Sebab saham batu bara banyak yang harus disiapkan karena sentimen yang terjadi sampai hari ini.
Cadangan Batu Bara Indonesia Cukup 65 Tahun Lagi
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ridwan Djamaluddin mengemukakan cadangan batubara Indonesia saat ini mencapai 38,84 miliar ton. Dengan rata-rata produksi batubara sebesar 600 juta ton per tahun, maka umur cadangan batubara masih 65 tahun apabila diasumsikan tidak ada temuan cadangan baru.
Selain cadangan batubara, masih ada juga sumber daya batubara yang tercatat sebesar 143,7 miliar ton. Untuk itu, Pemerintah terus mendorong upaya pemanfaatan untuk memberikan kesejahteraan ke seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
"Batubara kita masih banyak. Kita punya 65 tahun umur cadangan. Sebagian besar ada di Kalimantan dan Sumatera," kata Ridwan.
Lebih lanjut Ridwan menuturkan, Kalimantan menyimpan 62,1 persen dari total potensi cadangan dan sumber daya batubara terbesar di Indonesia, yaitu 88,31 miliar ton sumber daya dan cadangan 25,84 miliar ton. Selanjutnya, wilayah punya potensi tinggi adalah Sumatera dengan 55,08 miliar ton (sumber daya) dan 12,96 miliar ton (cadangan). "Mau tidak mau masih menjadi andalan Indonesia dalam penyediaan energi dengan harga terjangkau," jelas Ridwan.
Pada 2021 ini, batubara ditargetkan mencapai produksi sebesar 625 juta ton. Dari jumlah tersebut, kebutuhan batu bara dalam negeri atau domestic market obligation (DMO) ditargetkan dapat mencapai 137,5 juta ton. Adapun pada tahun 2020 sendiri, realisasi produksi batubara Indonesia berada di angka 558 juta ton. Sekitar 134 juta ton dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Sejalan dengan langkah menekan penurunan emisi gas rumah kaca yang berasal dari sektor energi, Kementerian ESDM mencari terobosan baru melalui penggunaan teknologi berbasis energi bersih. Hal ini diharapkan dapat mengoptimalkan pemanfaatan batubara di Indonesia.
"Salah satu upaya Pemerintah saat ini adalah mendorong agar batubara dimanfaatkan dengan tetap memperhatikan lingkungan. Kita selalu berusaha menggunakan teknologi batubara dengan cara yang lebih bersih," tegas Ridwan.
Ridwan mengakui dari total 1.262 Giga Ton emisi CO2 yang dihasilkan di Indonesia, sebanyak 35 persen berasal dari pembangkit listrik batubara. "Di sisi lain, ini bisa menjadi potensi Indonesia memproduksi metanol," ungkap Ridwan.
Menurut Ridwan, ada dua tantangan yang tengah dihadapi dalam, yaitu pengusaan teknologi dan menciptakan skala keekonomian. "Tantangan ini besar sekali sehingga berbagai proyek hilirisasi batubara yang sudah dicanangkan belum sesuai ekspektasi," jelasnya.
Teknologi Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS), sambung Ridwan, diyakini akan mengurangi emisi CO2 akibat pembakaran batubara. "Berdasarakan studi PLN dan World Bank tahun 2015, CCUS secara teknis layak untuk dikembangkan di Indonesia," pungkasnya. (RAMA)