Berisiko Rugikan Negara, Urgensi Power Wheeling Diklaim Tidak Jelas
Konsumsi listrik di Indonesia masih jauh jika dibandingkan dengan negara Asean lainnya.
IDXChannel - Pemerintah dan DPR diminta untuk lebih mencermati lagi urgensi skema power wheeling dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Enrgi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET).
Hal tersebut disampaikan oleh Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra Talattov, yang menilai bahwa skema power wheeling tersebut tidak memiliki urgansi yang jelas, dan malah berisiko merugikan negara.
"Urgensi skema power wheeling yang masuk dalam pembahasan RUU EBET ini harus dijelaskan dan dicermati betul karena sangat berisiko berdampak buruk bagi negara," ujar Abra.
Sampai saat ini, papar Abra, baik pemerintah maupun DPR sama sekali belum mengungkap secara gamblang alasan terkait dengan skema power wheeling.
"Pasal power wheeling ini seperti siluman, kadang muncul, kadang tenggelam. Pun tidak jelas rupa dan tujuannya. Untuk itu, kita akan mengawal kebijakan ini," tutur Abra.
Menurut Abra, power wheeling merupakan sistem yang sangat liberal dan berisiko mengancam kedaulatan ketenagalistrikan yang sudah diamanatkan dalam UUD 1945 harus dikuasai oleh negara.
"MK sudah melegitimasi itu dengan membatalkan skema unbundling dalam UU Ketenagalistrikan," ungkap Abra.
Dikatakan Abra, skema power wheeling merupakan mekanisme liberal yang dapat memudahkan transfer energi listrik dari pembangkit swasta ke fasilitas operasi milik negara secara langsung.
"Dan ini berisiko teknis dalam implementasinya. Karena EBET memiliki sifat intermiten yang berisiko menggangu keandalan listrik negara," papar Abra.
Abra menjelaskan, desakan untuk memasukkan power wheeling sebagai insentif ini juga tidak beralasan karena sesungguhnya pemerintah sudah menunjukkan arah kebijakan energi baru dan energi terbarukan secara jelas dalam RUPTL 2021-2030.
Dalam RUPTL, yang seringkali diklaim sebagai green RUPTL itu, sebetulnya sudah ada peningkatan porsi EBET yang signifikan.
"Bahkan ada tambahan EBET itu 20,9 gigawatt, di mana 56,3 persennya itu adalah porsi swasta," ungkap Abra.
Dengan sudah adanya porsi swasta pada roadmap tersebut, dikatakan Abra, sebetulnya sudah cukup menjadi keyakinan investor bahwa memang negara punya arah yang cukup jelas untuk mendorong bauran suplai listrik dari EBET.
"Pada sisi suplai, sepertinya negara sudah membuka ruang yang cukup lebar terhadap peran swasta. Saat ini yang bermasalah justru sisi demand atau permintaan yang masih sangat kecil," urai Abra.
Konsumsi listrik di Indonesia masih jauh jika dibandingkan dengan negara Asean lainnya. Bahkan, disebut Abra, belum mencapai separuh dari Vietnam yang mencapai sekitar 2.500 KwH per kapita.
"Sisi demand ini yang seharusnya penting untuk dibahas, bukan suplainya," tegas Abra. (TSA)