Cetak Untung Rp55 Triliun, Kinerja Garuda (GIAA) Lampaui Anggota InJourney
Laba Garuda Indonesia melampaui perusahaan pelat merah di sektor jasa pariwisata dan pendukungnya atau InJourney
IDXChannel - Garuda Indonesia Tbk (GIAA) mengantongi laba bersih sebesar Rp55,7 triliun pada 2022. Laba tersebut melampaui perusahaan pelat merah di sektor jasa pariwisata dan pendukungnya atau InJourney
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir menyebut, kinerja perusahaan negara di bawah PT Aviasi Pariwisata Indonesia (Persero) atau InJourney masih merah atau dalam fase penyehatan di luar Garuda Indonesia.
"Di jasa pariwisata dan pendukung, konsolidasi yang paling tinggi non cash (laba bersih) di Garuda, lainnya masih taraf penyehatan, kemarin masih merah," ungkap Erick, dikutip Rabu (15/2/2023).
Menurutnya, kinerja keuangan BUMN yang dinaungi Holding Pariwisata dan Pendukung semakin meningkat, bila terjadi konsolidasi aset perusahaan.
Salah satunya, menggabungkan bandara yang dikelola Angkasa Pura I (Persero) dan Angkasa Pura II (Persero). Terkait aksi korporasi ini, Erick belum membeberkan waktu pelaksanaannya.
Meski begitu, dia optimis bahwa kinerja BUMN di sektor tersebut mulai membaik dan ditargetkan terus tumbuh pada tahun ini.
"Ketika bandara satu (AP 1), dan dua (AP II) belum konsolidasi secara keuangan, kemarin masih merah, Insya Allah tahun ini 2023 untung, jadi ada peningkatan," katanya.
Dia pun memperkirakan laba konsolidasi BUMN sepanjang 2022 mencapai Rp303,7 triliun, jumlah tersebut juga dikontribusikan oleh laba bersih emiten bersandi saham GIAA itu.
Saat ini, Garuda belum mengikuti jejak BUMN lain untuk bergabung ke dalam InJourney. Pasalnya, perusahaan harus melewati semua proses dan tahapan restrukturisasi keuangan yang ditargetkan rampung akhir 2022-2023.
Diperkirakan emiten penerbangan pelat merah akan mulai bergabung ke dalam InJourney pada akhir tahun ini. Saat pembentukan InJourney sebelumnya, Erick melarang Garuda Indonesia masuk ke dalam anggota holding. Lantaran maskapai masih menanggung utang jumbo yang mencapai ratusan triliun rupiah.
Kebijakan menunda bergabungnya Garuda Indonesia ke dalam holding untuk menghindari kemungkinan buruk yang terjadi. Erick menyebut, dengan memasukan perusahaan ke dalam holding diyakini akan membebani keuangan holding itu sendiri.
(DES)