ECONOMICS

Diprotes Aktivis di WEF, Seberapa Kuat Pengaruh Raksasa Migas dalam Transisi Energi?

Maulina Ulfa - Riset 19/01/2023 16:11 WIB

Tak hanya uang, teknologi juga menjadi keunggulan komparatif perusahaan migas global

Diprotes Aktivis di WEF, Seberapa Kuat Pengaruh Raksasa Migas dalam Transisi Energi? (Foto: Newsweek.com)

IDXChannel - Pertemuan tahunan World Economic Forum (WEF) 2023 diwarnai dengan sejumlah protes aktivis iklim yang memprotes kehadiran banyak perusahaan minyak dan gas (migas) terbesar dunia.

Diketahui, ribuan pemimpin bisnis global dan elit politik akan berkumpul di Davos, Swiss untuk WEF, yang berlangsung dari Senin hingga Jumat pekan ini, 16-20 Januari 2023.

Di antara para eksekutif yang hadir adalah dari perusahaan energi utama seperti BP (BP), Chevron (CVX.N), dan Saudi Aramco (2222.SE).

"Kami menuntut tindakan iklim yang konkret dan nyata," kata Nicolas Siegrist, ketua partai Sosialis Muda di Swiss.

Perusahaan minyak besar mendapat tekanan sejak awal dimulainya  WEF di mana para aktivis ini menuduh mereka membajak debat iklim. Sementara kampanye "cease and desist" yang disponsori aktivis lingkungan ternama, Greta Thunberg, mendapat dukungan luas di media sosial.

Menanggapi hal ini, pelaku raksasa migas mengatakan bahwa mereka perlu menjadi bagian dari transisi energi karena bahan bakar fosil akan terus memainkan peran utama dalam bauran energi dunia saat negara-negara beralih ke ekonomi rendah karbon.

Berbagai ancaman termasuk naiknya suku bunga mempersulit pengembangan energi terbarukan utamanya dalam hal pembiayaan. Kondisi ini memposisikan pemain tradisional di bisnis energi berada dalam kondisi keunggulan kompetitif.

Pendapatan Jumbo

Perusahaan-perusahaan energi utama Barat diperkirakan akan meraup rekor laba gabungan sebesar USD200 miliar dari gejolak pada 2022.

Hal ini karena volatilitas besar dalam harga minyak dan gas setelah invasi Rusia ke Ukraina dengan pendapatan yang tinggi kemungkinan akan bergulir hingga 2023.

Ketiban kas bejibun, BP, Chevron, Exxon Mobil, Shell dan TotalEnergies juga menghasilkan keuntungan yang belum pernah terjadi sebelumnya kepada pemegang saham melalui dividen dan pembelian kembali saham tahun lalu.

Laba bersih Exxon pada kuartal ketiga tahun lalu mencapai USD44,5 miliar. Sementara Aramco mencatatkan laba bersih pada periode yang sama naik 39% YoY menjadi USD42,4 miliar. Adapun Chevron Corporation melaporkan pendapatan sebesar USD11,2 miliar untuk kuartal ketiga 2022.

Perusahaan-perusahaan ini diharapkan membukukan laba gabungan sebesar USD199 miliar untuk tahun penuh 2022 ketika mereka melaporkan hasil kuartalan akhir akhir bulan ini dan awal Februari mendatang.

Menurut catatan Reuters, keuntungan raksasa migas diperkirakan turun menjadi USD158 miliar tahun ini karena melemahnya harga energi dan kekhawatiran inflasi, tetapi itu masih jauh di atas rekor 2011.

Kinerja pada 2022 yang kuat juga membantu perusahaan-perusahaan ini memangkas utang mereka menjadi hanya di level USD100 miliar, terendah dalam 15 tahun. Kondisi ini memungkinkan mereka untuk memulai 2023 dengan lebih siap menghadapi penurunan di masa mendatang.

Utang bersih mencapai titik tertinggi sepanjang masa sekitar USD270 miliar pada tahun 2020 ketika pandemi Covid-19 melumpuhkan bisnis energi.

"Karena itu, kami berharap pengembalian pemegang saham tetap kuat untuk tahun ini," kata analis RBC Capital Markets dalam sebuah catatan.

Unggul dalam Teknologi Penangkap Karbon

Tak hanya keuntungan jumbo pada 2022, teknologi juga menjadi keunggulan komparatif perusahaan migas global.

Dari sisi teknologi, perusahaan migas global sedang menerapkan teknologi Carbon Capture, Utilization and Storage (CCUS). Secara sederhana, teknologi ini merupakan teknologi yang bisa menangkap gas berbahaya seperti metana dan karbon dioksida yang telah terlepas ke atmosfer untuk kemudian diinjeksi kembali ke tanah.

Mengutip riset Deloitte, strategi transisi energi perusahaan migas di Amerika Serikat (AS) mengedepankan penerapan teknologi CCUS dalam operasionalnya dan memanfaatkan gas alam yang lebih sedikit memproduksi emisis karbon.

Melimpahnya sumber daya gas alam yang relatif murah di AS menciptakan pilihan alternatif bagi banyak perusahaan migas Paman Sam.

Menurut survei Deloitte, 49% responden perusahaan migas mengatakan perusahaan mereka berfokus pada pengembangan produk yang berkelanjutan atau rendah karbon sebagai bagian dari strategi pengurangan emisi termasuk melalui gas alam.

Dalam banyak kasus, perusahaan mengurangi emisi suar dan metana serta menggunakan lebih banyak gas alam dan bahan bakar rendah karbon lainnya dalam proses operasionalnya.

Di Indonesia, investasi CCUS telah dimulai oleh BP di Lapangan Tangguh. Proyek bernama Tangguh LNG EGR/CCUS ini bernilai investasi sebesar USD3 miliar untuk fasilitas pengeboran gas alam baik di lepas pantai dan darat. Proyek ini diharapkan mulai beroperasi pada tahun 2026 atau 2027.

Tangguh LNG EGR/CCUS sendiri akan memiliki fasilitas 3 sumur injeksi, 1 anjungan injeksi lepas pantai, 1 pipa CO2 lepas pantai, dan fasilitas darat untuk pemindahan, pemrosesan, dan kompresi CO2. (ADF)

SHARE