ECONOMICS

G20 Dukung Pendanaan Antisipasi Pandemi, Bagaimana Implementasinya?

Maulina Ulfa - Riset 18/10/2022 14:30 WIB

Pembentukan Financial Intermediary Fund (FIF) sebagai dana bantalan pandemi di masa depan masih memerlukan pengawalan ketat agar distribusinya tepat sasaran.

G20 Dukung Pendanaan Antisipasi Pandemi, Bagaimana Implementasinya? (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) merilis data telah sukses menginisiasi pengumpulan Dana Perantara Keuangan atau Financial Intermediary Fund (FIF) sebesar USD1,4 miliar, dikutip dari laman Kemenkeu, Sabtu (15/10/2022).

Sebelumnya, G20 sepakat untuk membentuk FIF atau Dana Perantara Keuangan demi memastikan kecukupan dan keberlanjutan pembiayaan untuk pencegahan dan respon pandemi di masa depan.

Anggota G20 mendorong tambahan komitmen FIF secara sukarela. G20 juga menyambut baik keanggotaan dan perwakilan inklusif Pandemic Prevention, Preparedness, and Response (PPR) FIF dari negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, organisasi masyarakat sipil, dan lembaga donor, di mana Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) memegang peran sentral.

“Kami terus memprioritaskan tindakan kolektif dan terkoordinasi untuk mengendalikan pandemi dan lebih siap menghadapi pandemi di masa depan. Kami menyambut baik pembentukan PPR FIF yang diselenggarakan oleh Bank Dunia,” mengutip press release Fourth G20 Finance Ministers and Central Bank Governors Meeting di Washington DC, 12-13 Oktober 2022.

Dana abadi kesehatan memang yang kini tengah dibutuhkan oleh dunia. Kerugian akibat Covid-19 telah membukakan mata banyak pengambil kebijakan terkait pentingnya mempersiapkan anggaran kesehatan.

Inisiasi terkait pentingnya anggaran kesehatan bersama ini telah disuarakan Indonesia sejak Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 yang diselenggarakan di Roma, Italia pada akhir 2021 lalu.

Mengutip statemen dari Kementerian Luar Negeri RI, dalam bidang kesehatan, Indonesia termasuk salah satu negara yang mengusulkan pembentukan joint health and finance task force untuk membantu pendanaan penanganan kesehatan di masa pandemi.

“Disepakati pembentukan joint health and finance task force untuk menyusun road map pendanaan bantuan penanganan kesehatan, khususnya untuk negara-negara miskin dan berkembang,” ujar Menteri Luar Negeri (Menlu), Retno Marsudi di Glasgow, Skotlandia pada akhir November 2021 lalu.

Luka Memar Akibat Membengkaknya Pembiayaan Pandemi

Jika ditarik ketika pandemi sedang berada dalam titik kritisnya, pendanaan menjadi hal yang cukup penting, terutama bagi negara-negara berkembang.

Dampak mendalam cukup dirasakan bagi perekonomian dunia. Jatuhnya ekonomi banyak negara akibat kebijakan lockdown telah berdampak bagi anggaran penanganan Covid-19 yang tidak memadai.

Selama 2020, produk domestik bruto (PDB) dunia turun sebesar 3,4 %. PDB global mencapai USD84,54 triliun pada tahun tersebut, sehingga 3,4% penurunan ekonomi setara lebih dari dua triliun dolar AS dari output ekonomi yang hilang.

Di negara dengan penghasilan rendah, PDB yang hilang akibat kondisi pandemi mencapai 4,8%. Sedangkan di negara pasar berkembang atau emerging market, PDB yang hilang ditaksir mencapai 7%. Secara global, kehilangan PDB mencapai 6,7% akibat Covid-19, melansir data Statista. (Lihat grafik di bawah ini)

Tak hanya itu, angka pengangguran juga meningkat pesat selama pandemi Covid-19. Tingkat pengangguran global meningkat 6,18% di tahun tersebut.

Pada kuartal I 2020, indeks saham global juga membukukan kerugian cukup besar yang dipicu oleh merebaknya virus Corona. Periode dari 6 hingga 18 Maret sangat dramatis, dengan beberapa indeks saham kehilangan lebih dari 20% nilainya.

Anggaran kesehatan yang meningkat untuk mengatasi wabah Covid-19 adalah salah satu masalah yang pelik yang dihadapi banyak negara.

Dalam merespon krisis tersebut, pemerintah Indonesia meluncurkan paket stimulus fiskal secara masif melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Indonesia menempati peringkat lima besar negara di kawasan Asia Pasifik dengan budget penanganan Covid-19 terbesar menurut studi Asia Development Bank 2021.

Pada tahun 2020 pemerintah mengalokasikan Rp695,2 triliun atau sekitar USD49 miliar untuk program tersebut.

Lembaga kesehatan dunia, World Health Organization (WHO) juga banyak menuai kritik akibat ketidakmampuannya melakukan intervensi secara mendalam untuk menangani pandemi di negara-negara berkembang.

Hal ini disinyalir karena WHO tidak memiliki anggaran yang cukup untuk memenuhi kebutuhan global dalam memerangi Covid-19.

Mengutip The Conversation, total anggaran program yang diusulkan untuk WHO untuk 2020-2021 adalah USD4,84 miliar atau sekitar US$2,4 miliar per tahun, meningkat 9% dari tahun anggaran dua tahun sebelumnya. Selain itu, sebesar USD1 miliar dialokasikan untuk operasi darurat. Namun, jumlah ini terlalu kecil untuk badan sebesar WHO.

Sementara, Amerika Serikat (AS) merupakan negara pemberi donor utama bagi WHO. AS menyumbang hampir USD90 juta atau sekitar 16% dari total anggaran organisasi tersebut pada 2018-2019.

Keputusan Presiden AS Donald Trump yang sempat menghentikan pendanaan AS ke WHO di tengah pandemi virus corona terang saja memicu kontroversi besar. (Lihat grafik di bawah ini).

Sementara, untuk mengakali kekurangan dana penanganan pandemi, sebagai strategi jangka pendek, WHO mendorong pendanaan kolektivis sebesar USD23 miliar untuk mengakhiri pandemi sebagai dana darurat global pada 2022.

WHO telah mengembangkan Access to COVID-19 Tools Accelerator (ACT-A), sebuah program untuk mendukung semua kegiatan penelitian dan pengembangan dalam kemungkinan wabah di masa depan, manufaktur, regulasi, pembelian dan pengadaan alat yang diperlukan untuk mengakhiri pandemi Covid-19.

FIF menjadi bukti komitmen negara G20 dalam mendukung reformasi arsitektur global yang berkeadilan.  Namun, implementasinya masih perlu untuk dikawal dengan ketat, mengingat hal ini masih sebatas wacana yang memerlukan pembuktian lebih lanjut. (ADF)

SHARE