IDXChannel - Kemunculan virus Corona telah merubah lansekap arsitektur kesehatan global. Tak hanya dari sisi respons pemerintah, namun juga akses pelayanan kesehatan yang terancam kolaps.
Langkah mitigasi diperlukan untuk melakukan pencegahan datangnya outbreak di masa depan. Termasuk menyiapkan penelitian terkait mutasi berbagai penyakit hingga penemuan vaksin sebagai tindakan pencegahan.
Salah satu agenda pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-17 G20 2022 adalah memastikan reformasi arsitektur kesehatan global dapat terealisasi dengan maksimal.
Hal ini adalah mandat dari hasil KTT G20 yang diselenggarakan di Roma, Italia pada akhir 2021 lalu. KTT ini menghasilkan pakta deklarasi dari para pemimpin negara anggota G20 di antaranya terkait kesehatan, energi dan perubahan iklim, perjalanan internasional, hingga ekonomi digital.
Salah satu isu penting yang harus dicari solusinya pada KTT G20 adalah pemerataan akses kesehatan terutama bagi negara-negara berkembang yang masih kesulitan dalam mendapatkan pelayanan kesehatan.
Di era pandemi Covid-19, ketimpangan akses vaksin menjadi salah satu isu utama, terutama bagi negara-negara berkembang.
Ketimpangan Akses Vaksinasi Covid-19
Selama pandemi, modernisasi teknologi telah mendorong penemuan vaksin dipercepat dibandingkan di masa lalu. Usaha itu berhasil dengan munculnya berbagai merk dan jenis vaksin mulai dari Sinovac asal China, AstraZeneca buatan Oxford, hingga Pfizer dan Modena dari AS.
Langkah tersebut merupakan terobosan kesehatan di abad modern yang dapat membantu mengakhiri pandemi lebih cepat.
Namun sayangnya, penemuan vaksin Covid-19 belum dibarengi dengan distribusi yang adil dan merata, terutama di negara berkembang.
Menurut Our World Data, 95% orang dewasa berpenghasilan menengah dan rendah tidak dilindungi oleh program vaksinasi global. Hanya 13,6% orang di negara berpenghasilan rendah yang telah menerima setidaknya satu dosis di awal-awal distribusi vaksin.
Peluncuran vaksinasi yang lebih lambat dan tertunda di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah telah membuat mereka rentan terhadap varian baru Covid-19, dan pemulihan yang lebih lambat dari krisis.
Negara-negara berpenghasilan tinggi memulai vaksinasi rata-rata dua bulan lebih awal dari negara-negara berpenghasilan rendah. Sementara cakupan vaksinasi di negara-negara miskin masih sangat rendah.
Saat ini, terdapat COVAX (Covid-19 Vaccines Global Access), sebuah inisiatif global untuk pemerataan akses vaksin- yang dipimpin oleh Global Alliance for Vaccines and Immunization (GAVI), WHO, Coalition for Epidemic Preparedness Innovations, hingga Indonesia.
Namun ketimpangan akses vaksinasi masih saja terjadi. Berdasarkan laporan Our World Data (OWD), negara berpenghasilan tinggi telah memvaksin 3 dari 4 orang, atau sekitar 72,57% dari populasinya dengan setidaknya satu dosis per 12 Oktober 2022.
Sedangkan negara berpenghasilan rendah masih memvaksin 1 dari 4 orang, atau hanya 24,62% dari total populasi setidaknya satu dosis vaksin per tanggal yang sama.
Kondisi ini merupakan ironi yang harus diselesaikan oleh negara-negara G20 bersama-sama dengan WHO dan lembaga berkepentingan lainnya. (Lihat grafik di bawah ini).
Hal ini disebabkan karena harga vaksin masih terbilang cukup mahal apalagi bagi negara-negara miskin. Data dari Covid-19 Vaccine Purchase Dataset menunjukkan biaya rata-rata per dosis vaksin berkisar antara USD2 hingga USD40. Estimasi biaya pengiriman vaksin mencapai USD 3,70 per orang per dua dosis.
Kondisi ini menjadi beban keuangan yang signifikan bagi negara-negara berpenghasilan rendah dengan rata-rata pengeluaran kesehatan per kapita tahunan mencapai USD 41 menurut Global Health Expenditure Database.
Sementara program vaksinasi akan meningkatkan biaya perawatan kesehatan di negara-negara berpenghasilan rendah dengan peningkatan anggaran negara sebesar 30 hingga 60% untuk memenuhi target 70% vaksinasi dari total populasi.
Adapun negara-negara berpenghasilan tinggi hanya membutuhkan kenaikan anggaran untuk vaksinasi sebesar 0,8% untuk mencapai target 70% vaksinasi dari total populasi.