Hadiri KTT ASEAN, Intip Jumlah Utang Negara Asia Tenggara ke China
China adalah salah satu mitra dagang utama negara-negara ASEAN. Hubungan dagang ini diresmikan dalam ASEAN–China Free Trade Area (ACFTA).
IDXChannel - Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi membuka rangkaian Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-43 dan Pertemuan Terkait di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Selasa (5/9/2023). Helatan ini akan digelar selama tiga hari hingga 7 September.
"Selamat datang di Jakarta pada acara KTT ke-43 ASEAN. Saya dan seluruh rakyat Indonesia sangat senang menyambut keluarga besar ASEAN," kata Jokowi dalam pidato sambutannya.
Sejumlah delegasi negara dipastikan hadir dalam pertemuan puncak konferensi tingkat tinggi (KTT) ASEAN yang ke-43 pada 5-7 September 2023 di Jakarta Convention Center.
Di antara yang hadir dalam gelaran KTT ASEAN, yakni Amerika Serikat (AS) dan China. ASEAN kini tengah jadi rebutan para negara adidaya untuk menjadi mitra strategis.
Bukan tanpa alasan, mengingat ASEAN digadang menjadi titik cerah pertumbuhan ekonomi global di masa depan di saat ekonomi utama dunia mengalami guncangan.
Rata-rata pertumbuhan PDB ASEAN akan mencapai 4,6 persen pada 2023 and 4,8 persen di tahun depan. Meskipun melambat pada 2022, namun ekonomi ASEAN menunjukkan ketahanan di masa depan berdasarkan proyeksi OECD Development Centre.
Cengkraman Utang China di ASEAN
China adalah salah satu mitra dagang utama negara-negara ASEAN. Hubungan dagang ini diresmikan dalam ASEAN–China Free Trade Area (ACFTA), yaitu kawasan perdagangan bebas antara sepuluh negara anggota ASEAN dan China.
China pertama kali mengusulkan gagasan kawasan perdagangan bebas pada November 2000. Tahap pertama perjanjian ini melibatkan 6 negara yang terlibat dalam penghapusan tarif terhadap 90 persen produk mereka pada 2010.
Selain ACFTA, China juga bergabung dengan pakta perdagangan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang resmi berlaku sejak tahun lalu bersama Australia, Selandia Baru, Korea Selatan, dan Jepang.
Bahkan China juga mengalami peningkatan perdagangan sebesar 15 persen dari tahun ke tahun dengan negara-negara ASEAN pada 2022.
Impor dan ekspor China ke ASEAN mencapai 6,52 triliun yuan (setara USD970 miliar) pada tahun lalu. Dari jumlah tersebut, ekspor mencapai 3,79 triliun yuan, meningkat 21,7 persen, dan impor mencapai 2,73 triliun yuan, naik 6,8 persen berdasarkan data General Administration of Customs (GAC) China pertengahan Januari lalu.
Meski demikian, China terkenal memiliki reputasi sebagai negara pemberi utang dengan skema debt trap.
Menurut data Bank Dunia yang dianalisis oleh Statista, negara-negara yang memiliki utang besar ke China sebagian besar berlokasi di Afrika, namun juga dapat ditemukan di Asia Tengah, Asia Tenggara, dan Pasifik.
Sebagai pemberi pinjaman pilihan baru bagi negara-negara berpenghasilan rendah, China disebut memiliki 37 persen utang negara-negara tersebut pada 2020.
China menyalurkan utang melalui proyek new silk road untuk membiayai sejumlah pembangunan infrastruktur seperti pelabuhan, kereta api, dan infrastruktur darat di seluruh dunia. China juga ambisius mengejar realisasi proyek Belt and Road Initiative (BRI).
Tak terkecuali di Asia Tenggara, China juga mencengkramkan utang luar negerinya dalam bentuk sejumlah proyek.
Bahkan menurut riset ISEAS Singapura, Asia Tenggara merupakan salah satu penerima utama pendanaan pembangunan China,
Di Asia Tenggara, berdasarkan data Global Chinese Development Finance (GCDF) pada 2017 mencatat terdapat sebanyak 54 contoh pinjaman pembangunan yang dijaminkan kepada China dengan total USD23,9 miliar (mata uang konstan 2017). (Lihat grafik di bawah ini.)
Dari sejumlah proyek tersebut, sekitar 95 persen dari pinjaman yang dijaminkan ini disalurkan ke sektor-sektor yang merupakan proyek strategis yang berkaitan dengan energi, pertambangan, transportasi dan komunikasi.
Namun, perlu dicatat bahwa sampel dari 54 proyek ini didasarkan pada apa yang dapat dan dikumpulkan oleh GCDF berdasarkan informasi yang tersedia untuk umum.
Untuk sebagian besar proyek, data mengenai rincian jaminan tidak tersedia. Meski demikian, masih terlalu sulit untuk mengklaim bahwa China telah membawa “perangkap utang” atau debt trap di kawasan ini. (ADF)