HPP Naik, Bulog Hanya Targetkan Serap 500 Ton Beras di Sumut
Pemerintah telah menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah dan Beras yang naik pada 2025. Hal itu pun berpengaruh pada serapan beras Bulog.
IDXChannel – Pemerintah telah menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah dan Beras yang naik pada 2025. Hal itu pun berpengaruh pada serapan beras Bulog.
Meski begitu, Bulog yakin dapat memaksimalkan penyerapan gabah dan beras petani, khususnya saat musim panen.
"Target kita untuk tahun 2025 ini dapat menyerap hasil panen petani sebanyak 500 ton setara beras atau sekitar 1.000 ton harga gabah kering," kata Pimpinan Wilayah Bulog Sumatra Utara, Budi Cahyanto, kepada wartawan di kantornya, Rabu (15/1/2025).
Budi mengaku, target penyerapan beras di Sumatera Utara pada 2025 lebih rendah dibandingkan 2024 yang mencapai 1.000 ton. Meski begitu mereka optimistis penyerapan dapat dilakukan secara lebih maksimal.
"Tahun lalu target kita 1.000 ton tapi realisasinya 300 ton. Tahun ini kita Targetkan 500 ton untuk seluruh Sumut. Bukan kita tidak mampu menyerap lebih banyak. Tapi saat ini petani memang tengah menikmati harga di atas harga yang ditetapkan pemerintah," tuturnya.
Bulog sebenarnya berharap dapat menyerap produksi gabah dan beras petani untuk memenuhi kebutuhan Sumatera Utara yang mencapai sekira 220 ribu ton per tahun. Namun saat ini hal itu sulit direalisasikan, karena petani bisa menjual hasil produksi mereka di atas HPP yang ditetapkan pemerintah.
"Yang penting saat masa panen, saat terjadi kelebihan pasokan, harga gabah dan beras petani tidak anjlok. Kita akan masuk dengan HPP yang ada untuk mengintervensi pasar," kata Budi.
Namun, kata Budi, tidak semua gabah dan beras produksi petani bisa mereka terima. Gabah dan beras yang bisa mereka beli dari petani dengan HPP yang ada, hanya jika gabah dan beras petani memenuhi standar kualitas yang telah ditentukan Badan Pangan Nasional (Bapanas).
Untuk gabah kering giling (GKP) ditentukan dengan kadar air maksimum 25 persen, kadar hampa 10 persen. Kemudian untuk GKG dengan kadar air maksimum 14 persen dan kadar hampa maksimum 3 persen.
Sementara untuk beras, ketentuan yang bisa diserap adalah dengan kadar sosoh 100 persen, kadar air maksimal 14 persen, kadar butir patah maksimal 25 persen dan kadar butir menir 2 persen.
"Ya harus sesuai standar itu. Karena seperti kadar air itu akan sangat menentukan bobot GKG dan berasnya. Kalau tidak sesuai kualitas nanti hasil berasnya juga tidak sesuai dan muncul kerugian negara. Karena kita Bulog kan juga menggunakan APBN," kata dia.
Target 500 ton penyerapan itu, lanjut Budi, akan diserap melalui penggilingan-penggilingan yang saat ini telah menjadi mitra Bulog. Termasuk juga Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) yang telah memenuhi syarat.
"Selain dengan mitra, Satgas kita akan turun langsung untuk mendatangi Kelompok Tani guna menyerap beras mereka. Yang penting kita pastikan, setiap petani mendapatkan harga sesuai yang sudah ditetapkan," tuturnya.
Gabah dan beras yang nantinya diserap dari petani, kata Budi, akan diperuntukkan sebagai Cadangan Beras Pemerintah (CBP). CBP ini nantinya untuk memenuhi kebutuhan Bantuan Pangan Gratis serta sejumlah peruntukan lain termasuk untuk Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) Beras.
"Untuk stok beras kita saat ini di Sumatra Utara ada 46 ribu ton. Ini cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Sumut, termasuk saat pelaksanaan puasa Ramadan dan Idul Fitri yang biasanya permintaan masyarakat meningkat," kata Budi.
Seperti diketahui, pemerintah melalui Bapanas telah mengeluarkan Keputusan Kepala Bapanas Nomor 2 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Harga Pembelian Pemerintah (HPP) dan Rafaksi Harga Gabah dan Beras.
Dalam keputusan itu, HPP untuk harga gabah kualitas GKP senilai Rp6.500 per kilogram di tingkat petani dan Rp6.700 per kilogram di tingkat penggilingan. Sementara harga gabah kualitas GKG senilai Rp8.000 per kilogram di tingkat penggilingan dan Rp8.200 per kilogram di gudang Bulog. Sedangkan harga beras ditetapkan senilai Rp12.000 per kilogram.
"HPP sekarang sudah sesuai dengan harga keekonomian. Kalau kita tanya ke petani mereka pasti inginnya lebih tinggi. Tapi kalau terlalu tinggi, kasihan konsumen," ujar Budi.
(Febrina Ratna Iskana)