Indonesia Bisa Raup Rp8.000 Triliun dari Potensi Pendapatan Nilai Ekonomi Karbon
Indonesia memiliki potensi pendapatan dari nilai ekonomi karbon yang cukup besar. Nilainya bahkan diproyeksi mencapai Rp8.000 triliun.
IDXChannel - Presiden Direktur PT Radian Teknologi Global, Moch. Abadi mengatakan Indonesia memiliki potensi pendapatan dari nilai ekonomi karbon yang cukup besar. Nilainya bahkan diproyeksi mencapai Rp8.000 triliun.
Dana tersebut didapat dari nilai ekonomi karbon yang merupakan nilai dari setiap unit emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari kegiatan manusia dan kegiatan ekonomi.
"Potensi pendapatan (nilai ekonomi karbon) bisa mencapai Rp8.000 triliun hasil dari pengelolaan gas emisi tadi, ini kalau dari penyerapan saja kita lihat sampai 113,18 gigaton total penyerapan emisi karbon," kata Abadi dalam Pelatihan Media dengan tema “Bisnis Karbon dan CCUS - Potensi, Proses Bisnis, dan Outlook", Minggu (23/6/2024).
Hal itu juga sejalan dengan upaya pemerintah yang telah menyiapkan sejumlah strategi untuk menurunkan emisi gas rumah kaca 29-41 persen pada 2030. Strategi tersebut salah satunya melalui nilai ekonomi karbon (carbon pricing).
Dengan strategi tersebut, dia memproyeksi harga karbon dihargai USD5 per ton CO2. Harganya akan naik jika Indobesia terus berkompetisi untuk melaksanakan program penurunan emisi semaksimal mungkin.
Abadi menjelaskan ada dua skema ekonomi karbon di Indonesia yaitu dengan instrumen perdagangan atau instrumen non-perdagangan.
Dalam instrumen perdagangan ada perdagangan emisi yakni penghasil karbon besar beli izin emisi dari penghasil karbon rendah dan offset emisi yakni entitas yang berhasil turunkan emisi dapat jual kredit karbon. Sedangkan instrumen non-perdagangan ada pajak karbon yaitu pungutan atas aktivitas/kandungan karbon dan Result Based Payment (RBD) atau pembayaran atas hasil penurunan emisi.
"Indonesia memiliki potensi besar dari nilai ekonomi karbon. Selain dapat menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29-41 persen pada 2030, Indonesia berpotensi mendapatkan tambahan pendapatan hingga ribuan triliun," kata dia.
Lebih lanjut, dia mengatakan sektor industri yang menjadi sasaran dalam nilai ekonomi karbon ini yaitu energi, transportasi, pengolahan limbah, proses industri dan penggunaan produk, pertanian, kehutanan.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, Indonesia memiliki potensi pendapatan sebesar USD565,9 miliar atau sekitar Rp8.000 triliun dari perdagangan karbon dari hutan, mangrove, dan gambut.
Adapun pelaksanaan pajak karbon rencananya dimulai 2025 mendatang. Pada tahap awal, pemerintah akan mengenakan pajak karbon kepada perusahaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara dengan tarif Rp30.000 atau sekitar USD2,09 per ton emisi karbon dioksida ekuivalen (tCO2e).
"Program untuk penurunan karbon itu kelihatannya tidak mudah karena sangat mahal, jadi pemerintah harus membantu pengusaha yang ingin menurunkan karbonnya karena ini masalah finansial," kata Abadi.
Dengan demikian, perlu adanya Carbon Pricing yang merupakan pemberian harga (valuasi) atas emisi Gas Rumah Kaca (GRK)/karbon. Carbon Pricing juga merupakan Nilai Ekonomi Karbon/NEK, bentuk internalisasi biaya dari eksternalitas negatif berupa emisi Gas Rumah Kaca.
Memang pemerintah Indonesia menunjukkan komitmennya dalam memerangi perubahan iklim dengan mendorong penerapan teknologi Carbon Capture Storage (CCS) dan Carbon Capture and Utilization Storage (CCUS). Upaya ini sejalan dengan Net Zero Emission atau target nol emisi yang dicanangkan pada 2060.
Salah satu langkah pemerintah dalam meningkatkan daya tarik adalah pemberian insentif carbon tax (atau pajak karbon adalah pajak yang diterapkan pada pembakaran bahan bakar berbasis karbon, seperti batubara, minyak, dan gas) dan carbon credit (sebuah izin yang dapat diperdagangkan untuk memberi kemungkinan perusahaan mengeluarkan sejumlah emisi karbon dalam proses industri).
(FRI)