Ini Sederet Faktor yang Buat BI Berani Kerek Bunga Acuan
Kenaikan suku bunga acuan merupakan respon kebijakan moneter yang sifatnya pre-emptive dan forward looking dalam menjangkar ekspektasi inflasi dan kurs rupiah.
IDXChannel - Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) merupakan respon kebijakan moneter yang sifatnya pre-emptive dan forward looking dalam menjangkar ekspektasi inflasi dan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
Kebijakan ini mendukung terjaganya stabilitas perekonomian di tengah masih tingginya risiko perekonomian global. Menurutnya, ada beberapa faktor yang menjadi pendorong BI menaikan suku bunga acuan, faktor pertama menurut Josua adalah ekspektasi inflasi yang meningkat di akhir tahun.
Ekspektasi inflasi yang meningkat didorong oleh peningkatan harga barang bergejolak dan barang yang diatur pemerintah dalam 2 sampai 3 bulan terakhir. Belum lagi, Pemerintah berpotensi melakukan penyesuaian harga BBM dalam waktu dekat.
"Peningkatan kedua komponen inflasi tersebut berpotensi meningkatkan inflasi inti di akhir tahun sebagai efek dari second round," kata Josua kepada MPI, Selasa (23/8/2022).
Faktor kedua adalah output gap yang tercatat positif yang mengindikasikan peningkatan sisi permintaan. Pada kuartal II-2022 lalu, pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat sebesar 5,44% year on year (yoy), di atas ekspektasi, yang berimplikasi pada positifnya output gap dari Indonesia.
Adapun faktor ketiga potensi penurunan surplus dari transaksi berjalan pada akhir tahun, seiring dengan normalisasi harga komoditas global.
"Penurunan nilai transaksi berjalan berpotensi mempengaruhi fundamental nilai tukar Rupiah sehingga akan mempengaruhi nilai tukar rupiah mengingat ekspektasi harga komoditas yang akan melandai kedepannya," ujarnya.
Josua mengungkapkan, dengan kenaikan suku bunga acuan BI di bulan Agustus, ditujukan untuk menjangkar ekspektasi inflasi inti dalam jangka pendek dan menengah. Instrumen dari suku bunga sendiri pada dasarnya hanya mampu menahan laju dari inflasi inti, dan bukan dari sisi inflasi barang bergejolak atau barang yang diatur pemerintah.
Dia memperkirakan kenaikan suku bunga berdampak untuk menahan permintaan untuk barang dan jasa dalam derajat tertentu, sehingga inflasi inti dapat dikendalikan. Sedangkan untuk barang bergejolak diperkirakan laju inflasinya akan mulai melambat seiring dengan musim panen di bulan Agustus hingga September.
"Inflasi barang bergejolak berpeluang meningkat kembali di akhir tahun," pungkasnya.
Dia menuturkan, untuk inflasi barang yang diatur pemerintah erat kaitannya dengan kebijakan pemerintah, terutama subsidi energi. Inflasi di akhir tahun diperkirakan mampu mencapai 5,0 hingga 5,5%.
"BI diperkirakan berpotensi untuk melanjutkan kenaikan hingga akhir tahun ini sebesar 50 bps dan hingga awal tahun depan," tuturnya.
(DES)