Iuran Tapera Jadi Beban Baru buat Kelas Menengah RI
Nasib kelas menengah di Indonesia semakin berat di tengah kondisi ekonomi nasional yang penuh tekanan dan ketidakpastian global.
IDXChannel - Nasib kelas menengah di Indonesia semakin berat di tengah kondisi ekonomi nasional yang penuh tekanan dan ketidakpastian global.
Baru-baru ini, polemik Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) semakin memanaskan situasi. Pasalnya, gaji pekerja swasta akan dipotong sebagai bagian dari iuran Tapera. Bahkan, pemerintah mendorong program ini terealisasi paling lambat hingga 2027 mendatang.
Potongan yang dibebankan dalam program Tapera mencapai 3 persen. Jumlah ini dengan rincian iuran yang dibebankan 2,5 persen kepada pekerja dan 0,5 persen pemberi kerja dari upah pekerja sebulan.
Kebijakan ini tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) pada 20 Mei 2024.
Program ini dianggap beban kelas menengah yang semakin berat di tengah gempuran inflasi dan era suku bunga tinggi. Pos-pos pengeluaran kelas menengah kian membengkak di tengah kondisi ini.
Definisi Kelas Menengah
Definisi kelas menengah sendiri digambarkan sebagai kelas pekerja yang berjuang mempertahankan hidup dan kelas yang banyak mempunyai waktu luang karena kekayaannya. Gambaran ini diungkapkan oleh, misalnya Thorstein Veblen, melalui teori Kelas Kenyamanan atau Leisure Class.
Untuk kasus Indonesia, mengutip studi World Bank bertajuk “Aspiring Indonesian-Expanding the Middle Class” 2019 lalu menyatakan, satu dari lima masyarakat Indonesia adalah kelas menengah.
Dalam laporan tersebut, Bank Dunia menyebutkan masyarakat miskin yang baru saja keluar dari garis kemiskinan dan menjadi kelas menengah mencapai 114,7 juta orang.
Jumlah tersebut porsinya mencapai 44 persen dari total penduduk Indonesia yang mencapai 261 juta jiwa pada 2016. Jumlah ini merupakan yang terbanyak dibandingkan dengan kelompok lainnya.
Bank Dunia mencatat selama 15 tahun terakhir, Indonesia telah membuat kemajuan luar biasa dalam mengurangi tingkat kemiskinan yang sekarang berada di bawah 10 persen.
Selama periode itu kelas menengah Indonesia tumbuh dari 7 persen menjadi 20 persen dari total penduduk atau sekitar 52 juta orang.
Laporan World Bank tersebut mengidentifikasi lima kelas konsumsi yang berbeda di Indonesia, diantaranya adalah kelompok Miskin, Rentan, Menuju Kelas Menengah, Kelas Menengah, dan Kelas Atas.
Kelompok Kelas Menengah digambarkan sebagai kelompok masyarakat dengan pengeluaran Rp1,2 juta hingga Rp6 juta. Ada pula Kelomok Menuju Kelas Menengah dengan pengeluaran Rp532 ribu hingga Rp1,2 juta. (Lihat tabel di bawah ini.)
Melansir studi Kompas 2023, terjadi pergeseran ke bawah kelas sosial ekonomi akibat pandemi Covid-19 2021.
Dalam hitungan Kompas, jumlah warga kelas atas turun 9 persen dan kelas menengah turun 4 persen, dibandingkan pada tahun 2017. Sebaliknya jumlah warga calon kelas menengah naik 10 persen, rentan miskin naik 9 persen, dan miskin naik 2,5 persen.
Kondisi ini menunjukkan ketidakpastian ekonomi membuat kelas menengah sangat rentan terhadap guncangan.
Gaji Habis untuk Kebutuhan
Kini, kelas menengah menanggung beban baru berupa potongan Tapera di tengah seretnya kenaikan upah dan melambungnya inflasi.
Terlebih, upah pekerja swasta yang sulit naik dalam beberapa tahun terakhir. Ini tercermin dari kenaikan upah minimum provinsi untuk tahun 2024 yang hanya rata-rata sebesar 3,6 persen.
BPS melaporkan, inflasi melonjak selama tiga bulan berturut sepanjang 2024. Pada Maret, inflasi Indeks Harga Konsumen (IHS) mencapai 3,05 persen dan menjadi yang tertinggi sejak Agustus 2023.
Inflasi inti sebagai salah satu indikator permintaan dalam ekonomi (daya beli), tercatat mencapai 1,77 persen bersamaan dengan momentum Ramadan dan Idul Fitri.
Belum lagi kenaikan harga pangan pokok yang semakin membuat pengeluaran masyarakat teralihkan ke konsumsi pokok. Akibatnya, gaji habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok saja.
Per Maret 2024, kenaikan inflasi juga terjadi karena adanya kenaikan harga sebagian besar indeks kelompok pengeluaran. Terutama disebabkan oleh kelompok makanan, minuman dan tembakau yang menyumbang andil mencapai 7,43 persen.
Fithra Faisal Hastiadi, Ekonom PT Samuel Sekuritas Indonesia mengatakan sentimen pesimistis kelas menengah sebagian besar disebabkan oleh tekanan inflasi, terutama dari fluktuasi harga bahan pangan selama Februari.
“Kondisi ini mengikis daya beli konsumen dan membuat mereka merasa lapangan pekerjaan mereka tidak mencukupi untuk mengimbangi kenaikan biaya. Akibatnya, lapangan kerja dan harga secara bertahap menjadi masalah rumah tangga yang mendesak bagi kelas menengah,”kata Fithra dalam opininya di harian The Jakarta Post, 28 Maret 2024.
“Oleh karena itu, pemerintah tidak boleh lagi mengabaikan kelas menengah, dan kebijakan harus diarahkan untuk memfasilitasi pertumbuhannya,”imbuh Fithra.
BPS juga merilis hasil Survei Biaya Hidup (SBH) 2022 pada Desember 2023. Menurut survei tersebut, DKI Jakarta menjadi kota dengan biaya hidup tertinggi nasional.
BPS mencatat nilai konsumsi rata-rata per rumah tangga di ibu kota negara ini tembus Rp14,88 juta per bulan.
Di tengah tingginya biaya hidup, kondisi ini tidak dibarengi dengan kenaikan pendapatan buruh di Indonesia.
Kesenjangan sisa gaji juga terjadi pada laju pendapatan dan pengeluaran antara kelas menengah dan kelas atas.
Di sisi lain, laju pengeluaran kelas menengah juga tercatat lebih tinggi. Pengeluaran calon kelas menengah rata-rata per tahun 7,4 persen dan kelas menengah 6,8 persen dari tahun sebelumnya. Adapun kelas atas, angka pengeluaran per tahun hanya sekitar 5,6 persen.
DKI Jakarta masih menjadi provinsi dengan UMP tertinggi 2024 mencapai Rp Rp5.067.381, sedangkan UMP terendah berada di Jawa Tengah yang hanya mencapai Rp 2.036.947.
Menurut Guru Besar Tetap Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Omas Bulan Samosir, laju pendapatan yang rendah dan cenderung stagnan karena situasi ekonomi makro.
“Mencari pekerjaan dengan penghasilan tinggi itu sulit. Apalagi mencari pekerjaan tambahan. Oleh karena itu, berapa pun penghasilan, diterima saja,” ujar Omas dikutip Kompas, 25 Februari 2024.
Dengan gaji stagnan, menurut Omas, calon kelas menengah dan kelas menengah terbelenggu naiknya pengeluaran kebutuhan hidup. Akibatnya, mereka tidak bisa menabung karena penghasilan habis untuk kebutuhan harian yang terus naik.
Tak hanya itu, polemik kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang termasuk dalam komponen biaya pendidikan juga membuat kelas menengah semakin tercekik. Ini tercermin dari inflasi pendidikan yang tak bergeser dari rata-rata 2,15 persen dalam setahun terakhir. (Lihat grafik di bawah ini.)
Baru-baru ini, pemerintah akhirnya membatalkan kenaikan UKT yang ditunda hingga tahun depan.
Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro dalam acara Asian Development Outlook 2024 Discussion di Perpustakaan Nasional, Jakarta pada Kamis (16/5/2024) lalu mengatakan pengeluaran masyarakat saat ini lebih terarah pada kebutuhan yang terkait supermarket.
"Supermarket ini biasa kami gunakan sebagai proxy untuk belanja makan dan minuman," kata Andry.
Menurut Andry, data Mandiri Spending Index (MSI) menunjukkan porsi pendapatan masyarakat yang digunakan untuk kebutuhan makan minum pada 2024 melonjak tinggi dibandingkan tahun 2023.
Dia menyebut porsi penghasilan yang digunakan untuk membeli kebutuhan primer masih 13,9 persen pada Januari 2023.
Ketika konsumsi makanan melonjak pada bulan puasa dan Lebaran 2023, porsi penghasilan yang digunakan untuk makanan juga masih di angka 16,6 persen.
Namun, pada Mei 2024 ini, porsi penghasilan masyarakat yang dipakai untuk kebutuhan makan dan minum naik hingga 26 persen.
Andry mengatakan data ini menunjukkan masyarakat Indonesia semakin banyak mengalokasikan penghasilannya untuk kebutuhan sehari-hari. Hal itu bisa terjadi karena harga bahan pokok yang naik, sementara pendapatan masyarakat segitu-segitu saja.
"Jadi (pengeluaran) dua kali lipat, sehingga kalau untuk belanja yang secondary relatif terbatas, ini yang akan berpengaruh pada kemampuan belanja barang non-primer," katanya.
Apa Solusinya?
Indonesia harus memiliki pertumbuhan ekonomi minimal 6 persen jika ingin keluar dari middle income trap.
Hal ini disampaikan Amalia Adininggar Widyasanti, Wakil Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional yang membidangi perekonomian, sejalan dengan tujuan Indonesia untuk mencapai status negara maju pada 2045.
“Untuk menghindari apa yang disebut jebakan pendapatan menengah, kita perlu mempercepat pertumbuhan ekonomi melampaui angka 5 persen menjadi 6 persen saat ini,” kata Amalia 7 Maret 2024.
Namun, pertumbuhan ekonomi di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) periode kedua di 2019 hingga awal 2024, pertumbuhan rata-rata berada di kisaran 3,5 persen. Kondisi tidak normal sempat terjadi pada 2020-2021, saat Indonesia dilanda pandemi Covid-19. (Lihat grafik di bawah ini.)
Kondisi ini menunjukkan adanya kebingungan antara stabilitas atau progres ekonomi di era pemerintahan Jokowi.
“Negara-negara besar sudah masuk ke jurang resesi, negara lain juga turun growth-nya tapi kita mampu tumbuh di 5,11 persen,” ungkap Presiden Jokowi dalam keterangan pers di Balai Besar Pengujian Perangkat Telekomunikasi (BBPPT), Selasa, 7 Mei 2024.
“Ini saya kira patut kita syukuri karena ini banyak didukung oleh konsumsi, tetapi juga didukung oleh investasi yang terus masuk ke negara kita,” tambahnya.
Sementara, kelas menengah terjebak dalam lingkaran konsumsi di mana yang cukup membebani.
Di samping pengeluaran mereka tak terbatas konsumsi, tapi juga potongan-potongan berupa pajak dan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan di tambah kini wacana iuran Tapera.
Untuk membantu kelas menengah keluar dari jebakan middle income trap, salah satu upaya yang selama ini dilakukan adalah industrialisasi.
Strategi utama dalam meningkatkan persentase masyarakat kelas menengah adalah dengan melakukan transisi pekerja “informal” dari tempat kerja yang tidak diatur ke sektor formal.
Sektor formal, yang diatur oleh upah minimum yang disetujui pemerintah dan menawarkan asuransi kesehatan dan sosial, memberikan jalan menuju stabilitas ekonomi.
Namun, yang terjadi kini ekonomi dalam negeri yang justru mengarah ke deindustrialiasasi. LPEM, dalam laporan Proyeksi Kuartal I-2024 menegaskan adanya tanda-tanda deindustrialisasi dini.
Ini terlihat dari rata-rata pangsa manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) di periode kedua pemeritahan Jokowi mencapai level terendah.
Sejak Presiden Jokowi menjabat pada 2014, rata-rata nilai tambah manufaktur adalah sekitar 39,12 persen hingga tahun 2020, jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata pada masa Presiden Megawati sebesar 43,94 persen dan Presiden SBY sebesar 41,64 persen.
Kondisi ini memicu pertumbuhan ekonomi Indonesia yang kurang maksimal alias stagnan di kisaran 5 persen.
Deindustrialisasi adalah suatu kondisi dimana industri tidak dapat lagi berperan sebagai basis pendorong utama perekonomian suatu negara atau dengan kata lain kontribusi sektor ini terhadap PDB nasional terus mengalami penurunan.
Sementara pemerintah terkesan belum efektif dalam menghadapi gejala ini.
Sebagai contoh, dalam menghadapi isu penutupan beberapa pabrik manufaktur di dalam negeri, Presiden mengakui bahwa fluktuasi semacam ini adalah bagian dari dinamika pasar yang dipengaruhi oleh kompetisi, efisiensi, dan adaptasi terhadap barang-barang baru.
“Kalau masalah ada pabrik yang tutup, sebuah usaha itu naik turun karena kompetisi, karena mungkin efisiensi, juga karena bersaing dengan barang-barang baru yang lebih inovatif,” jelas Presiden. (ADF)