ECONOMICS

Jangan Keburu Panik, Ini Tiga Hal Perlu Anda Ketahui soal Resesi

Maulina Ulfa - Riset 19/10/2022 18:10 WIB

Orang ramai membicarakan resesi, sementara definisi resesi itu sendiri harus memenuhi kriteria-kriteria yang telah ditentukan dalam makroekonomi.

Jangan Keburu Panik, Ini Tiga Hal Perlu Anda Ketahui soal Resesi. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Tema resesi tahun depan masih menjadi pembahasan hangat warganet. Ramalan dunia gelap akibat perlambatan ekonomi di tahun depan menimbulkan kekhawatiran banyak orang.

Bahkan para influencer keuangan juga menyebarkan narasi resesi ini melalui platform sosial media yang mereka miliki.

Sebagai contoh, CEO Ternak Uang, Raymond Chin adalah salah satu dari sekian banyak influencer yang membuat konten mengenai resesi. Para tokoh publik ini menyampaikan pesan yang sama yakni mewanti-wanti semua pihak harus takut dan waspada dengan kondisi tahun depan.

Namun, apa sih sebenarnya resesi itu serta bagaimana dampaknya buat kehidupan sehari-hari dan untuk Indonesia?

1. Definisi dan Penyebab Resesi

Orang ramai membicarakan resesi, sementara definisi resesi itu sendiri harus memenuhi kriteria-kriteria yang telah ditentukan dalam makroekonomi.

Mengutip Investopedia, resesi adalah penurunan aktivitas ekonomi yang signifikan, meluas, dan berkepanjangan. Aturan yang populer di kalangan awam adalah terjadi penurunan produk domestik bruto (PDB) dua kuartal berturut-turut.

Resesi ini biasanya menghasilkan penurunan output ekonomi, permintaan konsumen, dan lapangan kerja.

Menurut National Bureau of Economic Research (NBER), sebagai lembaga penghitung resmi resesi di Amerika Serikat (AS), mendefinisikan resesi sebagai penurunan signifikan dalam aktivitas ekonomi yang tersebar di seluruh perekonomian dan berlangsung lebih dari beberapa bulan.

Penentuan resmi resesi maupun penilaian ekonom terhadap aktivitas ekonomi didasarkan pada pandangan holistik pada data—termasuk pasar tenaga kerja, belanja konsumen dan bisnis, produksi industri, dan pendapatan.

Dalam menentukan resesi, NBER biasanya mempertimbangkan indicator non-pertanian, produksi industri, dan penjualan ritel, di antara indikator lainnya di AS.

Sementara itu, ada juga mahzab Sahm Rule Recession Indicator, di mana indikator resesi dimulai ketika rata-rata tingkat pengangguran nasional (U3) naik sebesar 0,50 poin persentase selama tiga bulan berturut-turut atau lebih relatif terhadap level terendah selama 12 bulan sebelumnya.

Indikator ini didasarkan pada data real time, yaitu tingkat pengangguran (dan riwayat tingkat pengangguran terkini) yang tersedia pada bulan tertentu.

Adapun mengutip White House, resesi adalah kondisi penurunan PDB riil selama dua kuartal berturut-turut, namun bukanlah definisi resmi maupun cara para ekonom mengevaluasi keadaan siklus bisnis.

The Fed juga menyebutkan, indikator keuangan, dan variabel makroekonomi lainnya memberikan sinyal yang berbeda terkait risiko resesi.

Pendekatan umum untuk penilaian risiko resesi di sektor keuangan biasanya menggunakan variabel keuangan seperti indikator credit spread atau perbedaan antara imbal hasil obligasi korporasi dan imbal hasil Treasury 10-tahun dan term spread atau perbedaan antara imbal hasil Treasury 10-tahun dan suku bunga acuan atau federal funds rate (FFR).

Jadi, sebuah negara dinyatakan resesi atau tidak sangat tergantung oleh kombinasi indikator yang telah dijelaskan sebelumnya. Dus, tidak bisa dipukul rata jika tahun depan akan resesi, maka seluruh dunia akan masuk ke jurang yang sama.

2. Negara Paling Rentan Resesi

Meskipun tidak ada definisi tunggal tentang resesi dan efeknya yang berbeda-beda tiap negara, akan tetapi beberapa negara memang memiliki kondisi perekonomian yang mengkhawatirkan. Utamanya, dalam hal pertumbuhan PDB, karena indikator ini paling gampang dalam melihat kondisi ekonomi suatu negara.

Jika melihat data outlook ekonomi 2023 yang dikeluarkan Dana Moneter Internasional (IMF), beberapa negara yang paling terdampak perlambatan global rata-rata adalah negara-negara mapan seperti Amerika Serikat, negara-negara Eropa dan beberapa negara berkembang (emerging market), seperti Meksiko.

Di AS, pertumbuhan PDB diproyeksikan melambat menjadi 1,0% di tahun depan menurut data IMF.

Sementara, PDB Meksiko akan terpukul paling keras di tahun yang sama karena saling ketergantungan ekonomi yang signifikan dengan AS. Hal ini dilihat dari kinerja ekspor Meksiko ke AS yang setara 28% dari PDB negara Amerika Latin tersebut, berdasarkan analisis S&P Global Ratings Credit Research.

Kondisi ini memungkinkan akan mendorong ekonomi Meksiko ke dalam resesi tahun depan, dengan rata-rata pertumbuhan PDB 0% dalam setahun penuh.

Sementara dalam hal kebijakan moneter, bank sentral Meksiko akan mengikuti The Fed yang akan menyiratkan bahwa tingkat kebijakan suku bunganya akan tetap mendekati 10% sepanjang tahun 2023.

Harga energi yang lebih tinggi kemungkinan akan mendorong pemerintah untuk terus mensubsidi bensin, yang akan meredam pukulan terhadap konsumsi tetapi pada tingkat yang lebih rendah.

Kondisi ini akan mengorbankan dinamika fiskal dan mendorong ekonomi perlahan pulih karena AS juga akan mengalami pemulihan menjelang akhir 2024.

Sumber: IMF

Di belahan dunia lain, menurut IMF, pertumbuhan PDB zona Euro diproyeksi akan melambat menjadi hanya 0,5%.

Jerman akan terpuruk paling dalam ke angka minus 0,3% dibanding 2022 yang berada di level 1,5%.

Indikator pertama penurunan aktivitas ekonomi yang cukup signifikan, terlihat dari sektor produksi manufaktur yang terkontraksi minus 1% month to month (mtm) pada Juli menjadi minus 4,8%.

Dari sisi perdagangan eksternal, terjadi penurunan tajam perdagangan yang mencatatkan minus 800 miliar euro selama satu bulan di bulan Juli, berdasarkan laporan BNP Paribas.

PDB Inggris diproyeksikan hanya akan tumbuh 0,2%. Sementara Rusia akan terkontraksi hingga minus 2,3%.

Di Asia Pasifik, China masih akan terdampak dari adanya pelemahan kinerja ekspor dan kebijakan Zero Covid-19 dan jatuhnya pasar properti Negeri Tirai Bambun tersebut. Kondisi ini menurut BNP Paribas akan berdampak pada kepercayaan konsumen, konsumsi swasta, dan investasi.

Sementara, secara umum, Indonesia sendiri diramalkan masih bisa meredam dampak signifikan risiko resesi global. Optimisme ini disampaikan oleh ekonom dan mantan Menteri Keuangan era SBY, Chatib Basri dalam SOE International Conference di Bali, Selasa (18/10).

Ia mengungkapkan, masih optimis dengan kinerja makroekonomi RI terlihat dari neraca dagang yang masih surplus. Secara kumulatif, nilai ekspor Indonesia Januari hingga September 2022 mencapai USD219,35 miliar, masih naik 33,49% dibanding periode yang sama tahun 2021.

Meskipun demikian, Indonesia berada di posisi menguntungkan dengan adanya berkah komoditas batubara yang harganya masih akan terus melambung ditopang tingginya permintaan dari pasar Eropa.

Sementara, laporan S&P Global Ratings Credit Research memproyeksikan pertumbuhan global yang lebih lambat dan permintaan eksternal memang akan membebani kegiatan ekonomi.

Namun, di negara-negara besar Asia-Pasifik, seperti China, India, Jepang, hingga Indonesia, disebut tidak akan terlalu kena dampak dari adanya risiko resesi global ini.

Turbulensi ini akan berdampak lebih kecil pada pertumbuhan dibandingkan dengan rata-rata global. Kondisi ini disebut oleh S&P Global Ratings disebabkan karena kondisi ekonomi negara-negara ini yang lebih berorientasi domestik.

Bank Dunia juga memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia masih stabil sampai 2023 sebesar 5,1%. Proyeksi ini tertuang dalam laporan East Asia and the Pacific Economic Update edisi Oktober 2022.

3. Dampak Resesi Bagi Masyarakat

Jika resesi melanda, sektor bisnis akan paling terdampak lebih dulu. Kegiatan usaha besar maupun kecil menghadapi penurunan penjualan dan keuntungan dalam resesi.

Kondisi ini yang memungkinkan terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) dan pemotongan belanja modal, pemasaran hingga penelitian.

Resesi juga dapat membatasi akses kredit, kredit macet hingga memacu kebangkrutan bisnis.

Perusahaan besar biasanya tidak kebal terhadap resesi. Pada tahun 2020, tercatat sebanyak 244 perusahaan di AS mencari perlindungan kebangkrutan, terbesar sejak 2009. Perusahaan energi, ritel dan layanan konsumen adalah sektor yang paling terpukul.

Selain itu, harga saham juga akan mengalami penurunan yang dalam karena memburuknya kinerja keuangan perusahaan. Jika kemerosotan laba sangat curam, beberapa perusahaan mungkin harus terpaksa mengurangi atau menghilangkan dividen pemegang saham.

Menurut kajian Economic Policy Institute, resesi ekonomi dapat menyebabkan scarring effect yaitu kerusakan jangka panjang pada situasi ekonomi individu dan ekonomi secara lebih luas. Resesi 2008 di AS adalah salah satu contoh nyata.

Resesi akan menyebabkan tingginya tingkat pengangguran, upah dan pendapatan yang lebih rendah, dan berkurangnya berbagai. Pendidikan, investasi modal swasta, dan peluang ekonomi akan paling terdampak dan efeknya akan berumur panjang.

Dalam hal kualitas hidup, ketika resesi akan banyak keluarga menghadapi kesulitan keuangan dan meningkatnya kemiskinan. Kondisi ini bahkan berdampak pada pemenuhan gizi anak dapat terganggu.

Pada 2007, sebanyak 13 juta rumah tangga AS, termasuk 12,7 juta anak-anak berada dalam kategori kesulitan mendapat makanan yang cukup dan bergizi.

Jumlah orang tanpa jaminan kesehatan  di AS 2008 juga mencapai 46,3 juta, dengan lebih dari 7 juta anak di bawah usia 18 tahun tidak memiliki asuransi kesehatan. Dengan kemiskinan lebih dari 14 juta anak pada tahun 2008 dan penyitaan asset kredit macet mencapai 4,3% menyebabkan lebih banyak anak kesulitan mendapatkan akses pendidikan.

Tingkat pengangguran AS meningkat dari 4,9% pada Desember 2007 menjadi 9,7% pada Agustus 2008 dengan sekitar 15 juta orang menganggur dan menjadi yang tertinggi sejak 1948.

Namun, resesi sepertinya masih jauh menghampiri Indonesia. Beberapa indikator ekonomi RI masih tercatat positif termasuk di sektor perdagangan hingga pengangguran yang masih terkontrol.

Sementara media sosial riuh dengan narasi soal dampak negatif resesi tahun depan oleh para influencer, kembali memahami terkait apa itu resesi dan potensi dampaknya ke RI bisa menjadi pilihan bijak saat ini. (ADF)

SHARE