Kaleidoskop 2022: Kenaikan Cukai dan Problematika Industri Rokok RI
Penerimaan CHT di tahun ini tercatat meningkat signifikan dibanding tahun-tahun sebelumnya.
IDXChannel - Produk hasil tembakau atau HT telah mengalami kenaikan tarif cukai sebanyak dua kali sepanjang 2022. Secara khusus, tarif cukai rokok ditetapkan mengalami peningkatan signifikan.
Pertama, ditetapkan per 1 Januari 2022. Kedua, diberlakukan per 31 November di tahun yang sama.
Kenaikan tarif cukai rokok di awal 2022 rata-rata mengalami kenaikan 12% dan khusus untuk SKT ditetapkan berbeda yaitu 4,5%.
Menurut pemerintah, kenaikan tarif cukai rokok ini bertujuan untuk mengendalikan konsumsi rokok, khususnya di kalangan anak dan remaja.
Kenaikan itu pun bukan hanya mempertimbangkan isu kesehatan, melainkan juga memperhatikan perlindungan buruh, petani, dan industri rokok.
Terdapat jenis rokok berdasarkan proses produksinya. Di antaranya Sigaret Kretek Mesin (SKM) Sigaret Putih Mesin (SPM) dan Sigaret Kretek Tangan (SKT) sebesar 5%.
Mengutip Kementerian Keuangan, besaran harga jual eceran (HJE) rokok berbeda untuk tiap golongan, termasuk harga per batang maupun per bungkus. Mengacu pada kenaikan cukai 12%, berikut rincian harga rokok di awal 2022. (Lihat tabel di bawah ini.)
Setelah ditetapkan pada awal Januari, pemerintah kembali menaikkan tarif cukai rokok pada akhir November tahun ini. Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada hari ini, Kamis (3/11/2022) secara resmi menetapkan kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) alias cukai rokok dengan rata-rata 10%.
Adapun rincian kenaikannya adalah golongan Sigaret Kretek Mesin (SKM) meningkat rata-rata 11,5 hingga 11,75%, Sigaret Putih Mesin (SPM) sebesar 12%, dan terakhir Sigaret Kretek Pangan (SKP) sebesar 5%.
Dengan harga rokok yang saat ini sudah menembus kisaran Rp22.000 hingga Rp40.000, kenaikan tarif ini dikeluhkan banyak pihak.
Dari sisi produsen, kenaikan ini membuat pelaku industri hasil tembakau (IHT) cemas. Salah satunya datang dari Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI).
Ketua umum GAPPRI, Henry Najoan mengatakan, belum terbitnya PMK cukai rokok berimbas pada kelangsungan usaha pada IHT. Menurutnya, para pelaku IHT mengalami dilema akibat ketidakjelasan aturan pemerintah.
Apalagi, saat ini para pelaku IHT juga masih kecewa karena besaran kenaikan tarif CHT yang dinilai sangat tinggi di tengah situasi ekonomi yang tidak menentu.
“Implikasi kebijakan cukai yang sudah berlangsung tiga tahun berturut-turut ini, ditambah dua tahun mendatang, akan berdampak negatif bagi iklim usaha IHT legal," ungkap Henry, Senin (12/12/2022).
Meski naik, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati merasa prihatin dengan perkembangan konsumsi rokok di Indonesia. Pasalnya, kebijakan tarif cukai ini malah naik. Padahal tarif cukai yang naik ikut mendorong kenaikan indeks kemahalan rokok.
"Namun, jumlah perokok masih sangat tinggi dan cenderung meningkat," ujar Sri Mulyani dalam Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi XI DPR di Jakarta, Senin (12/12/2022).
Jika dilihat dari produksi rokok, jumlahnya terpantau stabil. Dilihat dari data Kementerian Keuangan, produksi rokok terbesar sepanjang tahun ini terjadi di Maret dengan jumlah mencapai 47,2 miliar batang.
Sementara itu, produksi HT pada Oktober tumbuh 14,7% year on year (yoy) dari 24,3 miliar batang pada Oktober 2021 menjadi 27,9 miliar batang Oktober 2022.
Kondisi ini disokong pertumbuhan produksi golongan 1 (pabrikan utama). Secara akumulatif, kondisi ini menggambarkan pertumbuhan produksi sampai Oktober tahun ini.
Adapun realisasi penerimaan CHT periode Januari-Oktober 2022 sebesar Rp171,33 triliun atau tumbuh 19,15% secara tahunan (yoy). Pada periode yang sama tahun sebelumnya yang tumbuh 10,16%.
Di tahun ini, penerimaan CHT terbesar di bulan Mei dengan nilai hingga Rp 26,4 triliun. Sementara pada Februari penerimaan CHT mencapai Rp 24,7 triliun, terbesar kedua.
Namun, pertumbuhan penerimaan CHT sedikit melambat dibulan Juli hanya mencapai Rp5 triliun. Faktor perlambatan itu dipengaruhi perlambatan produksi hasil tembakau di bulan Juli.
Penerimaan CHT di tahun ini juga tercatat meningkat signifikan dibanding tahun sebelumnya, terutama dalam empat tahun terakhir.
Problem ‘Sistem Borongan’ Tenaga Kerja Pabrik Rokok
Menurut Henry, dari sisi ketenagakerjaan, imbas kebijakan ini ada ancaman PHK tenaga kerja massal, serapan bahan baku dari petani tembakau dan cengkeh yang berpotensi akan berkurang.
“Mau di bawa ke mana nasib IHT legal nasional ini," paparnya dikutip IDX Channel.
Melihat banyak industri yang telah melakukan PHK sepanjang tahun ini, ancaman serupa di industri rokok ini cukup meresahkan.
Sementara selama ini, potret ketenagakerjaan di industri rokok masih terbilang belum terukur.
Hal ini karena adanya sistem buruh borongan dari proses produksi rokok, mulai dari proses panen tembakau, penjemuran, merajang daun tembakau, hingga melinting, yang tidak termasuk dalam kriteria pekerjaan formal.
Mengutip Antara, upah buruh pabrik rokok di Kudus, Jawa Tengah hanya dikisaran sebesar Rp17.000 per 1.000 batang rokok yang dihasilkan.
Mengutip website Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), setiap buruh pabrik rokok di Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, ditarget dapat mengerjakan produksi rokok 4.000 batang per hari. Sementara untuk pemula 1.600 batang. Sementara untuk buruh di tahap lanjutan sehari dibebani target 2.500 batang.
Jika buruh rokok bekerja setiap hari dalam sebulan, rata-rata pendapatan yang dikumpulkan hanya mencapai Rp2.040.000 per 30 hari kerja per 4.000 batang rokok. Jika angka produktivitas hanya separuhnya, maka pendapatan yang dibawa pulang juga kurang dari angka tersebut.
Belum lagi, kewajiban seperti perlindungan kesehatan dan sosial lainnya yang tidak ditanggung oleh perusahaan.
Belum lama ini, pemerintah Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, mulai menyalurkan bantuan langsung tunai (BLT) untuk pekerja di industri rokok untuk periode dua bulan dengan nominal Rp 600 ribu per orang dengan jumlah total 39.417 buruh pabrik rokok pada pertengahan Agustus lalu.
Sementara anggaran yang disediakan untuk periode empat bulan sebesar Rp23,65 miliar ini berasal dari dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT).
Melansir laporan Kementerian Keuangan, di tahun sebelumnya, DBHCHT yang diterima pemerintah angkanya mencapai Rp3,47 triliun. Dengan pendapatan DBHCHT terbesar adalah provinsi Rp1,93 triliun, Jawa Tengah Rp743,4 miliar dan Jawa Barat Rp401,65 miliar.
Tiga provinsi ini merepresentasikan industri rokok Tanah Air karena banyak pabrik-pabrik rokok berpusat di dalamnya.
Sebut saja Raksasa Grup Djarum yang pabriknya berada di Kudus, Jawa Tengah. Lalu ada Gudang Garam (kode saham: GGRM) dan HM Sampoerna (HMSP) yang menguasai industri rokok di Jawa Timur.
Juga terdapat berbagai pabrik rokok kelas menengah ke bawah di berbagai daerah di Indonesia yang juga memiliki rantai ekosistem ekonomi yang saling membutuhkan.
Gonjang ganjing protes kenaikan cukai rokok hingga ancaman PHK idealnya sejalan dengan peningkatan kesejahteraan dan keamanan pekerja informal seperti buruh borongan di sektor ini. (ADF)