ECONOMICS

Kaleidoskop 2022: Kilas Balik Industri Sawit RI dan Tantangan ke Depan

Maulina Ulfa - Riset 26/12/2022 07:30 WIB

Tahun depan harga CPO diproyeksi turun ke level USD800 per ton.

Kaleidoskop 2022: Kilas Balik Industri Sawit RI dan Tantangan ke Depan. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Industri sawit RI mengalami sejumlah tantangan sepanjang 2022. Kemunculan kasus kelangkaan minyak goreng di akhir 2021 berlanjut hingga paruh pertama 2022.

Kondisi ini mendorong pemerintah untuk mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk mengatasi hal ini.

Kendati pemerintah telah mengeluarkan kebijakan untuk mengatasinya, namun hingga Maret 2022 kelangkaan minyak goreng masih tetap ditemukan. 

Menurut lembaga riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS), kenaikan harga minyak goreng telah terlihat sejak April 2021. Pada Januari – Maret 2021, harga rata-rata di pasar tradisional Rp 13.092 per liter dan di pasar modern Rp 14.903 per liter.

Pada periode April hingga September 2021, angka ini meningkat rata-rata menjadi Rp 13.873 dan Rp 15.299 per liter. Harga minyak goreng kemudian melambung tinggi sejak Oktober 2021 hingga kebijakan satu harga pada 19 Januari 2022, rata-rata menjadi Rp 16.622 dan 17.295 per liter.

Pasca-kebijakan harga eceran tertinggi yang digulirkan pemerintah untuk mengendalikan harga, ketersediaan minyak goreng di pasaran justru menurun drastis, bahkan menghilang.

Masyarakat harus terjebak antrean panjang hanya untuk mendapatkan minyak goreng.

Akibatnya, IDEAS memperkirakan kerugian ekonomi yang ditanggung oleh masyarakat dari krisis ini mencapai Rp 3,38 triliun. Kerugian itu terakumulasi dari dua periode kenaikan yaitu Rp 0,98 triliun pada periode April - September 2021 dan Rp 2,4 triliun pada periode Oktober 2021-19 Januari 2022.

Terjadinya kelangkaan minyak goreng ini menyebabkan industri sawit RI menjadi sorotan utama.

Kisah 2022, Produksi Turun, Konsumsi Meroket

Indonesia merupakan produsen utama sawit dunia. Statista melaporkan bahwa produksi crude palm oil (CPO) Indonesia bakal mencapai 45,3 juta metrik ton (MMT) di tahun 2021/2022, mengungguli Malaysia dan Thailand. (Lihat grafik di bawah ini.)

Menurut perkiraan US Department of Agriculture, produksi CPO RI di tahun 2021/22 tidak jauh berbeda dibanding tahun sebelumnya sebesar 45,5 juta MMT.

Perkiraan ini naik 6% dari perkiraan produksi 2020/21 sebesar 43 MMT karena cuaca yang mendukung, harga yang tinggi, dan peningkatan penggunaan pupuk.

Sementara berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), total produksi minyak sawit Indonesia pada 2021 mencapai 51,3 juta ton.

Di sisi produksi, GAPKI mencatat total produksi minyak sawit dalam negeri pada Mei 2022 sebesar 3,4 juta ton. Jumlah itu turun 19,7% dari 4,2 juta ton pada April 2022.

Rinciannya, produksi CPO pada Mei 2022 sebesar 3,1 juta ton, turun 19,8% dari bulan sebelumnya yang sebesar 3,8 juta ton.

Sementara, produksi crude palm kernel oil (CPKO) pada Mei 2022 sebesar 304 ribu ton, turun 18,5% dari April 2022 yang sebesar 373 ribu ton.

Meski produksinya menurun, stok minyak sawit pada Mei 2022 mencapai 7,2 juta ton, meningkat dari 6,1 juta ton pada Maret 2022. (Lihat grafik di bawah ini.)

Produksi CPO pada Juni 2022 mengalami kenaikan sekitar 6% menjadi 3.29 juta ton sedangkan untuk PKO (minyak kernel) naik menjadi 322 ribu ton. Sehingga total produksi minyak sawit mencapai 3,61 juta ton.

Produksi di bulan September disebut mengalami kenaikan 16% dari bulan Agustus menjadi 4,545 juta ton

Menurut proyeksi USDA, konsumsi minyak sawit untuk industri juga diproyeksikan mencapai 9,6 MMT pada 2021/22, naik dari 8,8 MMT pada periode sebelumnya, yang didorong oleh program mandat biodiesel pemerintah Indonesia dalam B30.

Pemerintah Indonesia menetapkan program blending rate sebesar 30% minyak sawit untuk dicampur ke dalam solar dan kemudian menjadi produk biosolar atau biodiesel.

Tahun ini, pemerintah menetapkan alokasi biodiesel sebesar 10,1 miliar liter, naik dibanding tahun sebelumnya sebesar 9,2 miliar liter tahun lalu.

Sementara berdasarkan data GAPKI, konsumsi minyak sawit dalam negeri pada Juni 2022 juga mengalami kenaikan 225 ribu ton menjadi 1.84 juta ton.

Kenaikan terbesar terjadi pada konsumsi untuk biodiesel yaitu sebesar 130 ribu ton menjadi 720 ribu ton dan untuk pangan naik 97 ribu ton menjadi 934 ribu ton.

Program ini disubsidi oleh dana CPO, yang berasal dari pungutan ekspor atas produk kelapa sawit.

Data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Resource (ESDM) menunjukkan subsidi biodiesel tetap tinggi pada Januari 2022, mencapai Rp5.671 per liter, atau 29% lebih tinggi dari tingkat subsidi rata-rata tahun sebelumnya.

Kinerja Ekspor Sawit 2022

Untuk merespons kelangkaan minyak goreng, mulai 28 April 2022, pemerintah resmi menerapkan kebijakan pelarangan ekspor produk minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO),minyak sawit merah atau red palm oil (RPO), palm oil mill effluent (POME), serta refined, bleached, deodorized (RBD) palm olein dan used cooking oil. 

“Kebijakan ini diberlakukan untuk memastikan bahwa produk CPO dapat didedikasikan seluruhnya untuk ketersediaan minyak goreng curah dengan harga Rp14 ribu per liter terutama di pasar-pasar tradisional dan untuk UMK (usaha mikro kecil),” ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, dikutip website Setkab.go.id, Rabu (27/04/2022).

Pelarangan ekspor ini disebut berpengaruh terhadap pencapaian ekspor sawit RI.

Namun, sejak Mei 2022 lalu, akhirnya pemerintah mencabut kebijakan larangan ekspor minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya. Alasan dicabutnya larangan ekspor CPO karena banjirnya minyak sawit dalam negeri hingga tangki tingkat produsen penuh.

Di sisi kinerja ekspor, volume ekspor minyak sawit atau Crude Palm Oil (CPO) Indonesia mencatat penurunan sepanjang tahun ini.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, volume ekspor minyak kelapa sawit Indonesia susut 20,8% menjadi 14,65 juta ton sepanjang periode Januari-Agustus 2022 dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.

Menurut BPS, kondisi ini didorong oleh perlambatan perekonomian dunia sehingga permintaan minyak sawit global turun. Selain itu, penurunan ekspor minyak sawit Indonesia juga disebabkan datangnya musim panen minyak nabati di wilayah lain.

Penurunan terdalam terjadi di bulan Mei yang 0,68 juta ton, sementara bulan sebelumnya jumlah ekspor CPO masih di angka 2,09 juta ton.  Namun, ekspor kembali meningkat di bulan Juni mencapai 2,33 juta ton, dan terus meningkat hingga Agustus mencapai 4,33 juta ton. (Lihat grafik di bawah ini.)

 

Adapun di bulan September, ekspor CPO mengalami penurunan cukup besar mencapai minus 27% hanya di level 3,18 juta ton dibanding bulan sebelumnya.

Di bulan berikutnya, ekspor CPO kembali naik menjadi 3,65 juta ton. Kenaikan terbesar terjadi untuk pengiriman tujuan China dengan ekspor mencapai 253,8 ribu ton, disusul Pakistan naik 249,6 ribu ton.

Kinerja 3 Sawit Taipan RI Sepanjang 2022

Berdasarkan data The Science Agriculture, terdapat 10 perusahaan kelapa sawit dengan pendapatan terbesar di Indonesia pada 2020. Tiga di antaranya adalah perusahaan Grup Sinarmas PT Sinar Mas Agro Resources and Technology (SMART) Tbk dengan pendapatan mencapai Rp 40,3 triliun.

Adapun per 30 September 2022, berdasarkan laporan keuangan SMART, penjualan bersih untuk periode sembilan bulan tahun ini meningkat 41% menjadi Rp 57,04 triliun secara year on year (yoy).

Peningkatan pendapatan penjualan ini dihasilkan dari kombinasi apresiasi harga jual rata-rata dan volume penjualan yang lebih tinggi. CPO harga pasar berdasarkan FOB Belawan naik 23% year-on-year, rata-rata USD1.368 per MT selama periode sembilan bulan tahun 2022.

Selama periode sembilan bulan tahun ini, produksi buah SMART juga dilaporkan sedikit menurun 3% menjadi 1,86 juta ton, dari basis produksi tinggi tahun lalu yang mengalami rebound setelahnya kondisi El Niño.

Produksi juga dipengaruhi oleh tingginya curah hujan dan persiapan perkebunan tua untuk penanaman kembali.

Sejalan dengan itu, produksi CPO dan PK sedikit menurun menjadi 425 ribu dan masing-masing 117 ribu ton. Tingkat ekstraksi minyak sawit dan kernel masing-masing mencapai 20,8% dan 5,7%,.

Di posisi kedua ada perusahaan Grup Astra PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) dengan pendapatan mencapai Rp 18,8 triliun di tahun 2020.

Hingga September 2022, Astra Agro mencatat penurunan pendapatan bersih sebesar 8,3% menjadi Rp 17 triliun. Pada tahun 2021, Perseroan disebut telah membayar pungutan ekspor dan pajak ekspor sebesar Rp 228 miliar atau mengalami penurunan sebesar 75,1% Ytd dari tahun sebelumnya sebesar Rp 916 miliar.

Harga jual rata-rata CPO hingga September 2022 mengalami peningkatan sebesar 24% dibandingkan periode yang sama pada tahun 2021.

Sehingga, laba bersih yang diatribusikan kepada pemilik saham pada September 2022 sebesar Rp 1,2 triliun atau mengalami penurunan sebesar 17,2% dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu.

Hingga September 2022, Astra Agro mencatat produksi CPO sebesar 984 Ribu Ton, atau turun sebesar 13,7% dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu.

Penurunan ini juga diiringi dengan penurunan TBS proses sebesar 12,0% sebagai imbas dari masih dirasakannya penurunan produktivitas tanaman akibat kemarau panjang yang terjadi pada tahun 2019.

Sementara di posisi ketiga ada perusahaan Grup Salim PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP) dengan pendapatan mencapai Rp 14,4 triliun di tahun 2020.

Hingga September 2022, Grup SIMP mencatat penjualan sebesar Rp12,33 triliun, turun 13% yoy terutama karena turunnya penjualan produk Minyak & Lemak Nabati yang sebagian diimbangi oleh kenaikan harga jual rata-rata produk sawit.

Adapun laba bruto sebesar Rp3,34 triliun atau turun 3% yoy, laba usaha Rp2,20 triliun, meningkat 12% yoy dan EBITDA Rp3,36 triliun atau meningkat 14% yoy. Di sisi core profit juga mengalami kenaikan 37% yoy menjadi Rp1,42 triliun.

Sementara, laba periode berjalan yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk naik 59% yoy menjadi Rp896 miliar.

Di sisi produksi, TBS inti yang dihasilkan SIMP sekitar 2,1 juta ton, relatif tidak berubah yoy seiring pengaruh cuaca yang tidak mendukung terutama di periode kuartal 1 2022. Total produksi CPO naik 5% yoy menjadi 551 ribu ton.

Sementara pada kuartal 3 tahun ini, produksi TBS inti dan CPO masing-masing meningkat 20% dan 21% dibandingkan kuartal sebelumnya.

Beberapa nama lain pemain sawit RI di antaranya PT Dharma Satya Nusantara Tbk (DSNG) dengan pendapatan Rp 6,6 triliun di tahun 2022, PT Mahkota Group Tbk (MGRO) sebesar Rp4,1 triliun, PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk (SSMS) mencapai Rp4 triliun.

Kemudian, perusahaan Grup Salim PT PP London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP) sebesar Rp3,5 triliun, Grup Sampoerna PT Sampoerna Agro Tbk (SGRO) senilai Rp3,5 triliun, Grup Bakrie PT Bakrie Sumatera Plantations (UNSP) mencapai Rp2,5 triliun, dan PT Austindo Nusantara Jaya Tbk (ANJT) Rp2,5 triliun.

Tantangan Disrupsi Global

Lembaga konsultan Fitch Ratings memprediksi harga CPO acuan di bursa derivatives Malaysia rata-rata diprediksi akan turun menjadi USD800/ton di tahun depan dibandingkan USD1.200/t pada tahun ini.

Di sisi harga, berdasarkan data Trading Economics, CPO pernah mencapai harga tertingginya pada Maret sepanjang 2022. Kondisi ini dipicu oleh permintaan yang melambung dan pembatasan ekspor CPO Indonesia.

Namun, hingga akhir tahun ini, harga minyak sawit terkoreksi turun 741 MYR/MT atau 15,78% sejak awal tahun 2022, menurut perdagangan contract for difference (CFD) yang melacak pasar acuan untuk komoditas ini. (Lihat grafik di bawah ini.)

 

Sementara mengutip Fastmarket, harga minyak sawit berjangka Malaysia untuk pengiriman dalam tiga bulan ke depan akan dipatok antara MYR 3.500-5.000 per ton hingga kuartal pertama 2023.

Hal ini disampaikan pada Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2022 di Nusa Dua, Bali yang diselenggarakan GAPKI, Jumat (4/11/2022).

Dalam acara tersebut, pakar komoditas dunia dari Oil World, Thomas Mielke, memprediksi tahun 2023 harga minyak inti sawit diperkirakan melebihi harga minyak nabati lainnya seperti rapeseed, soybean dan lainnya.

Menurut Mielke, penguatan itu disebabkan beberapa hal. Pertama, hal ini dipengaruhi oleh perkembangan geopolitik, perang di Ukraina, inflasi dan resesi ekonomi, serta dampak pada harga energi dan permintaan minyak nabati.

Kedua, keterbatasan areal lahan di sejumlah negara penghasil oilseed akan menjadi tantangan untuk memperluas produksi minyak nabati mereka. Namun di sisi lain, pertumbuhan besar produksi sawit secara masif akan terjadi di Brasil, Rusia, dan benua Afrika. (ADF)

SHARE