Kasus Jiwasraya hingga Indosurya, Potret Kerentanan Industri Jasa Keuangan RI
Marak kasus yang melibatkan sektor jasa keuangan dalam lima tahun terakhir.
IDXChannel - Marak kasus yang melibatkan sektor jasa keuangan dalam lima tahun terakhir. Mulai dari kasus gagal bayar asuransi hingga yang terbaru kasus koperasi simpan pinjam (KSP) Indosurya.
Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu sempat menegur Otoritas Jasa Keuangan (OJK) karena banyaknya kasus gagal bayar asuransi dan merugikan tak sedikit nasabah.
“Jangan sampai kejadian yang sudah-sudah, Asabri, Jiwasraya, Rp 17 triliun, Rp 23 triliun. Ada lagi Indosurya. Ada lagi Wanaartha. Sampai hafal saya karena baca kan,” ucap Jokowi dalam acara Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan 2023, Senin, (6/2/2023).
Sebagai informasi, kasus asuransi Wanaartha Life merugikan nasabah hingga Rp15 triliun.
Tak hanya asuransi, publik kini juga digegerkan oleh kasus gagal bayar koperasi simpan pinjam (KSP) Indosurya. Kasus ini bergulir sejak 2020 di mana beberapa nasabah ramai mengeluhkan gagal bayar bunga dan pokok simpanan anggota.
Seorang nasabah mengaku menaruh dana hingga miliaran rupiah dan telah jatuh tempo pada 20 Februari 2020. Malang tak dapat dihindari, pihak KSP Indosurya tidak dapat memberi penjelasan dan dananya tak pernah kembali.
KSP Indosurya menghimpun dana dari total 23.000 nasabah dengan total kerugian mencapai Rp106 triliun. Banyak korban penipuan Indosurya yang mengalami stress bahkan hingga meninggal dunia.
Potret ini menambah kelam jejak industri keuangan di Tanah Air. Lalu bagaimana sebenarnya potret industri jasa keuangan khususnya di sektor asuransi dan koperasi? Apa yang menyebabkan banyak lembaga ini banyak terjerat kasus gagal bayar?
Potret Industri Asuransi dan KSP di Indonesia
Asuransi dan KSP menjadi pilihan investasi yg cukup digemari masyarakat, terutama bagi mereka yang tinggal di wilayah pedesaan.
Proses yang tidak rumit dan akses yang terjangkau, membuat warga kerap kali tergiur investasi berupa asuransi ataupun koperasi.
Menurut data Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), jumlah nasabah asuransi jiwa di Indonesia tembus 80,85 juta jiwa pada kuartal tiga 2022.
Jumlah tersebut naik 28,03% dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 63,15 juta jiwa.
Secara rinci, jumlah nasabah kumpulan asuransi jiwa sebanyak 54,88 juta jiwa.
Sementara, 25,97 juta jiwa lainnya berasal dari nasabah perorangan. Lebih lanjut, total polis asuransi jiwa mencapai 26,18 juta unit pada kuartal yang sama.
Jumlah tersebut naik 36,14% dibandingkan pada kuartal tiga 2021 berjumlah 19,23 juta unit. (Lihat grafik di bawah ini.)
Tak hanya asuransi, KSP juga merupakan salah satu jenis produk jasa keuangan. Sistem operasional KSP berjalan dengan cara menghimpun dana dalam bentuk tabungan dan deposito.
Tak seperti bank konvensional, prosedur yang dianut oleh KSP biasanya bersifat mudah dan cepat.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat 7.823 koperasi simpan pinjam di Indonesia pada 2020.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 58,95% koperasi simpan pinjam berada di Pulau Jawa. Sebanyak 17,42% koperasi simpan pinjam berada di Sumatera. (Lihat grafik di bawah ini.)
Sebenarnya tak hanya meminjam, kegiatan menabung pun juga digemari masyarakat Indonesia lewat KSP.
Menurut BPS, rerata nilai tabungan dan deposito anggota pada KSP pada 2020 juga mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya.
Rata-rata nilai tabungan naik 4,92% menjadi 1,50 miliar rupiah. Sedangkan rata-rata nilai deposito naik sebesar 3,05% menjadi 1,15 miliar rupiah.
Sementara menurut OJK, hingga Juni 2022, total Investasi yang dialokasikan untuk asuransi sebesar Rp1.361 triliun dengan rasio kecukupan premi terhadap pembayaran klaim mencapai 110,6% untuk asuransi jiwa. Sementara untuk asuransi umum nilainya mencapai 258,9%. (Lihat tabel di bawah ini.)
Sebagai informasi, rasio kecukupan premi asuransi terhadap klaim merupakan total premi dibagi dengan total pembayaran klaim.
Hasil itu menunjukkan kecukupan premi yang diterima oleh perusahaan asuransi umum untuk menutupi pembayaran klaim pada periode yang sama.
Jika dibandingkan, tren rasio kecukupan premi asuransi umum terhadap klaim per Juli 2017 mengalami kenaikan.
Mengutip data OJK pada tujuh bulan pada 2017, rasio kecukupan premi susut ke level 232,6% dari posisi awal tahun yang mencapai 241,9%.
Artinya, kondisi rasio di tahun 2022 tergambar meningkat.
Namun, industri asuransi bak mendapat blessing in disguise kala pandemi Covid-19 menyerang pada 2020.
Hasil riset Lifepal.co.id yang membandingkan laporan statistik asuransi OJK, menunjukkan bahwa pendapatan premi bruto asuransi jiwa pada bulan Juni 2020 mengalami pemulihan, bahkan melebihi nilai pendapatan dibanding tahun sebelumnya.
Meski mengalami penurunan cukup drastis di awal 2020, pendapatan premi asuransi di bulan Juni 2020 menjadi yang tertinggi dibanding Januari hingga Juni baik pada tahun 2019 maupun 2020.
Kinerja pendapatan premi asuransi bulan Juni 2020 mengalami pertumbuhan sebesar 23,7% dibandingkan dengan pendapatan di bulan yang sama tahun sebelumnya.
Sebagai gambaran, data statistik OJK menunjukkan, pertumbuhan aset asuransi terus meningkat sejak 2014 dari Rp807,7 triliun menjadi Rp1.325,7 triliun hingga Desember 2019.
Nilai investasi industri ini juga terus meningkat dari Rp648,3 triliun pada 2014 menjadi Rp1.141,8 triliun di 2019 lalu.
Menurut AAJI, rasio kecukupan premi asuransi sebenarnya tidak terlalu berpengaruh signifikan. Hal ini karena adanya mekanisme reasuransi yang bersiap untuk membackup klaim.
Sehingga tidak 100% keseluruhan klaim ditanggung oleh perusahaan asuransi umum.
Menurut data terbaru OJK, rasio kecukupan premi terhadap pembayaran klaim untuk rasio reasuransi mencapai 208,4%.
Adapun dana investasi asuransi ini kemudian diputar kembali ke instrumen investasi lainnya.
OJK mencatat, per Juni 2022, perusahaan asuransi jiwa menempatkan dana mereka terbesar di instrumen reksadana dengan nilai mencapai Rp142 triliun. Adapun alokasi investasi terbesar kedua berada di pasar saham yang nilainya mencapai Rp137,32 triliun. (Lihat tabel di bawah ini.)
Sementara jumlah asset yang dilaporkan ke OJK adalah mencapai Rp196,62 triliun dan jumlah utang mencapai Rp34,32 triliun.
Ini menjadi gambaran bahwa tak hanya jasa keuangan populer seperti industri perbankan yang menjadi pilihan masyarakat untuk mengelola keuangan.
Namun, asuransi dan koperasi memiliki tempat tersendiri di hati masyarakat. Namun, potret buram industri asuransi dan koperasi seolah menjadi duri dalam daging sektor jasa keuangan Tanah Air.
Mismanajemen hingga Lemahnya Penegakan Hukum
Hal yang paling memilukan dari kasus gagal bayar baik asuransi maupun KSP adalah cerita para nasabah yang harus kehilangan uang mereka.
Pasalnya, uang yang telah mereka kumpulkan sempat menjadi harapan untuk mendapat hidup lebih baik.
Tak hanya itu, ironi penegakan hukum hingga masalah manajemen kerap menjebak banyak pelaku bisnis asuransi dan KSP.
Di akhir Januari lalu, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Syafrudin Ainor, Dede Suryaman, dan Sri Hartati, menjatuhkan vonis bebas buat bos KSP Indosurya, Henry Surya.
Ia bebas dari dakwaan dugaan penipuan dan penggelapan, pada Selasa (24/01).
Atas putusan terhadap kedua terdakwa itu, Jaksa Agung ST Burhanuddin memerintahkan jajarannya untuk melakukan kasasi, Rabu (25/1).
Mengutip Laporan Hasil Analisis (LHA) Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Kejagung menyebut kerugian yang disebabkan Indosurya menjadi yang terbesar sepanjang sejarah di Indonesia.
Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki, juga menyayangkan kasus KSP Indosurya menjadi preseden buruk bagi koperasi simpan pinjam di Indonesia.
Menurut Teten, putusan itu juga telah mengabaikan rasa keadilan bagi ribuan anggota KSP Indosurya yang dirugikan.
“Kalau seperti ini, orang akan semakin kapok menjadi anggota koperasi simpan pinjam,” kata Teten dalam siaran resmi, Kamis (26/1).
Hal ini tak terlepas dari lemahnya pengawasan di sektor jasa keuangan non perbankan. Selama ini, pengawasan keuangan hanya difokuskan di sektor keuangan konvensional seperti perbankan, misalnya dengan adanya Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Sebelumnya, OJK telah membentuk Satgas Waspada Investasi (SWI) yang bertugas mengawasi praktik investasi yang merugikan. Namun, bak gelembung, kasus KSP Indosurya menjadi tamparan keras lemahnya pengawasan terhadap koperasi keuangan.
Merespon kasus ini, pemerintah menyatakan akan merevisi UU 25/1992 tentang Perkoperasian, khususnya dalam penguatan di bindang pengawasan dan sanksi kepada setiap KSP.
Tak hanya itu, UU P2SK juga telah resmi menjadi landasan hukum pengaturan KSP.
Dalam UU tersebut, OJK akan menjadi lembaga resmi yang mengawasi dan mengatur KSP secara langsung.
Sementara dalam kasus asuransi, pada April 2021 lalu Tim Percepatan Restrukturisasi PT Asuransi Jiwasyara (Persero) mencatat, terjadinya gagal bayar di industri asuransi, tak terkecuali Jiwasraya, karena tidak optimalnya penerapan manajemen risiko dalam perusahaan.
Pada Senin lalu, (6/2), Mahendra Siregar, selaku Ketua Dewan Komisioner OJK menjelaskan, premi asuransi jiwa mengalami kontraksi sepanjang 2022.
Fakta ini mengindikasikan adanya masalah di dalam tubuh perusahaan asuransi yang perlu segera diselesaikan.
Menurut Mahendra, premi asuransi umum dan reasuransi tumbuh sebesar 13,9% mencapai Rp119 triliun sepanjang 2022. Meski demikian, nilai itu mengalami kontraksi 7,8%.
“Kondisi ini menunjukkan bahwa mutlaknya penyelesaian masalah-masalah sejumlah perusahaan asuransi jiwa dalam waktu dekat," kata Mahendra dalam acara yang sama dengan presiden Jokowi.
Lanjut Mahendra, rasio solvabilitas atau risk based capital (RBC) industri asuransi umum sebesar 327% dan RBC asuransi jiwa sebesar 484,2%.
RBC adalah indikator yang mengukur kesehatan keuangan perusahaan asuransi untuk memenuhi kewajibannya.
Setali tiga uang, industri koperasi simpan pinjam (KSP) juga mencatatkan kerentanan serupa.
Untuk mengatasi itu, penting adanya prinsip kepatuhan dan tata kelola perusahaan yang baik atau Good Corporate Governance (GCG).
Saat ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah mengeluarkan Peraturan OJK (POJK) Nomor 44 Tahun 2020 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Lembaga Jasa Keuangan Non Bank (LJKNB).
Saat ini, masyarakat perlu lebih waspada jika akan melakukan investasi. Terutama jika diiming-imingi bunga besar yang tidak masuk akal.
Mengutip BBC Indonesia, menurut Direktur Eksekutif Segara Institute, Piter Abdullah terdapat setidaknya tiga ciri-ciri investasi bodong.
Pertama adalah menjanjikan keuntungan yang tidak masuk akal.
“Keuntungan 30-50%, bahkan berlipat-lipat, dalam waktu singkat. Itu sudah pasti bodong, dan dicurigai,” kata Piter.
Ciri kedua adalah tidak adanya kejelasan informasi mengenai bisnis investasi perusahaan tersebut.
“Kalau investasi itu harus jelas, menanam padi, buka tambak lele, itu kan jelas. Kalau bisnis tidak jelas bisnis apa, investasi apa, produk apa, sektor apa, pasar dimana, itu perlu dicurigai,” imbuh Piter.
Dan ketiga, penting untuk memastikan siapa pengelola, pemilik, izin hingga tokoh di baliknya.
“Tiga hal ini saja sudah cukup untuk kita dari awal mengantisipasi untuk berhati-hati,” kata Piter. (ADF)