ECONOMICS

Kemendag Kritisi Wacana Kemasan Rokok Polos, Begini Penjelasannya

Dhera Arizona Pratiwi 23/09/2024 12:45 WIB

Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengkritisi rencana Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk menerapkan kemasan rokok polos.

Kemendag Kritisi Wacana Kemasan Rokok Polos, Begini Penjelasannya. (Foto MNC Media)

IDXChannel - Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengkritisi rencana Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk menerapkan kemasan rokok polos. Sebab, kebijakan ini dinilai dapat menghambat perdagangan dan mengurangi hak pemegang merek.

Selain itu, Kemendag menilai hal tersebut juga berpotensi menciptakan inkonsistensi, mengingat Indonesia sebelumnya pernah menggugat kebijakan serupa.

Negosiator Perdagangan Ahli Madya Kemendag Angga Handian Putra menjelaskan, kebijakan kemasan rokok polos menawarkan tantangan yang kompleks bagi Indonesia. Sehingga, kebijakan ini perlu dievaluasi secara menyeluruh agar tidak mengganggu perdagangan dan hak pemegang merek.

“Walaupun belum dilibatkan secara resmi, kita akan proaktif menghubungi unit terkait di Kementerian Kesehatan yang menangani ini. Secara regulasi kan artinya kemasan polos ini berbenturan dengan hak cipta dan merek dagang,” ujarnya kepada awak media, Jakarta, Senin (23/9/2024).

Indonesia bersama Honduras, Republik Dominika, dan Kuba, telah menggugat kebijakan kemasan rokok polos Australia ke WTO pada 1 Juni di Jenewa. Ironisnya, kini Kementerian Kesehatan berencana mengeluarkan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPermenkes) yang mengatur kemasan polos untuk semua produk tembakau, termasuk rokok elektronik, berdasarkan PP No. 28/2024 yang baru disahkan. Kemasan rokok polos terdiri dari kotak berwarna seragam dengan peringatan kesehatan, tanpa logo atau jenis huruf khas merek, yang menyulitkan perokok dalam menemukan produk sesuai preferensi mereka.

Menurutnya, penting untuk memastikan merek dagang tetap digunakan, karena merek berfungsi sebagai daya pembeda produk tembakau, membantu konsumen memilih antara produk premium dan non-premium, serta mencegah perdagangan ilegal dan pemalsuan.

Dia juga mengimbau Kemenkes untuk mengantisipasi dampak sistemik dari kebijakan ini. Ada kemungkinan Indonesia dapat disengketakan oleh negara-negara anggota WTO lainnya yang memiliki kepentingan perdagangan, mengingat setiap negara memiliki kondisi, struktur pasar, dan perilaku konsumen yang berbeda.

“Kami berharap bahwa Kementerian Kesehatan dapat menyertakan juga dalam mengembangkan konsep kebijakan kemasan polos disertai dengan bukti-bukti ilmiah dan memperhatikan ketentuan-ketentuan WTO yang ada,” ujarnya.

Sebab, penerapan kebijakan kemasan rokok polos berpotensi melanggar perjanjian perdagangan global, termasuk yang diatur oleh WTO. Kebijakan ini bertentangan dengan sejumlah pasal dalam Kesepakatan Aspek Kekayaan Intelektual yang Terkait Perdagangan (Trade Related Aspect of Intellectual Property/TRIPs), terutama Pasal 20, yang melarang persyaratan yang mempersulit penggunaan merek dagang.

Selain itu, kebijakan ini juga diduga melanggar Pasal 2.2 dari Kesepakatan Hambatan Teknis Perdagangan (Technical Barrier to Trade/ TBT), yang mengharuskan negara anggota untuk tidak menghambat perdagangan lebih dari yang diperlukan.

Dia menambahkan, tanpa elemen visual yang dikenal, konsumen terpaksa berhadapan dengan kemasan yang membingungkan dan kehilangan informasi penting yang biasanya membantu dalam memilih produk. Bahkan yang lebih mengkhawatirkan, dengan hilangnya ciri khas desain, konsumen berisiko membeli produk yang ilegal atau palsu.

"Ini bertentangan dengan hak perlindungan konsumen yang diatur dalam UU Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999, di mana rokok sebagai produk legal seharusnya mendapatkan perlindungan yang memadai, bukan justru diperumit oleh kebijakan yang tidak efektif," kata dia.

Dalam kesempatan terpisah, Juru Bicara Komunitas Kretek Khoirul Afifudin menuturkan, kebijakan kemasan polos tersebut juga nantinya akan membuat Bea Cukai bingung dalam penempatan pita cukai. Sebab, Permenkes ingin gambar Peringatan Kesehatan yang ada di kemasan rokok tidak boleh terhalang oleh apapun.

"Padahal, pita cukai adalah salah satu penanda penting bahwa produk rokok tersebut adalah produk resmi atau palsu," ujar dia.

Artinya, kebijakan ini tampaknya bukan hanya menyulitkan konsumen tetapi juga menciptakan celah bagi produk ilegal tanpa pita cukai atau dengan pita cukai palsu. Pada akhirnya, upaya pemerintah menurunkan prevalensi perokok melalui kebijakan ini pun tidak juga tercapai.

Afif juga menjelaskan kebijakan ini seolah memberi tempat lebih bagi rokok ilegal, serta menghancurkan rokok legal.

“Hal ini jelas bahwa rancangan aturan ini berpotensi mengkhianati konstitusi, merusak hak merek dan hal berekspresi pada kemasan rokok. Secara tidak langsung rokok polosan ini, baik bagi penjual dan pembeli seolah membeli barang nista, padahal kenyataannya rokok ini adalah produk yang legal,” katanya.

Lanjut Afif, sudah semestinya Kementerian Kesehatan tidak hanya disibukan oleh urusan rokok semata, apalagi hanya menyoal urusan bungkus. Padahal, pesan kesehatan pada kemasan rokok sudah diatur sebelumnya dalam PP 109/2012 dengan porsi peringatan sebesar 40 persen, yang telah terbukti efektif menurunkan prevalensi perokok dari 9,1 persen pada 2018 menjadi 7,4 persen pada 2023, menurut Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023.

Namun, pihak-pihak kesehatan tampaknya tidak puas dengan pencapaian ini. Meski ukuran peringatan kesehatan telah ditingkatkan menjadi 50 persen, mereka juga mengusulkan kemasan polos yang melampaui ketentuan yang ada dan bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Bahkan, kebijakan ini secara tidak langsung mengadopsi prinsip-prinsip Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang belum diratifikasi oleh Indonesia.

"Perlu dicatat bahwa Industri Hasil Tembakau (IHT) memberikan kontribusi signifikan kepada negara, pemerintah, pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), serta masyarakat umum, termasuk dalam sektor kesehatan," ujarnya.

Afif menyimpulkan, penerapan kemasan polos bertujuan untuk merugikan industri tembakau di Indonesia dan mengancam pelaku industri kreatif yang bergantung pada desain kemasan.

"Oleh karena itu, Komunitas Kretek meminta agar pembahasan Permenkes dihentikan dan PP No. 28 Tahun 2024 dicabut," katanya.

(Dhera Arizona)

SHARE