Ketika Pelepah Pisang Asal Yogyakarta jadi Produk Kelas Atas di Eropa
Siji Lifestyle sebuah Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dari Kota Yogyakarta. Perusahaan ini memproduksi kerajinan tangan, serta furnitur yang berorientasi ekspor.
IDXChannel - Kata siapa produk buatan anak bangsa kalah di luar negeri? Buktinya, Achmad Kurnia pendiri sekaligus pemilik dari CV Siji Lifestyle berhasil membuat produk-produk miliknya mendunia, bahkan masuk ke dalam kelas premium di Eropa.
Siji Lifestyle sebuah Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dari Kota Yogyakarta. Perusahaan ini memproduksi kerajinan tangan, serta furnitur seperti wall decor maupun bowl set yang semuanya diperuntukkan untuk kepentingan ekspor.
Tidak main-main, benda-benda hasil produksinya bahkan dijual khusus untuk kalangan atas di Eropa dan Amerika Serikat (AS). Bahkan, harga jualnya di Benua Biru tersebut ada yang mencapai USD10 ribu.
Padahal, produk-produk buatannya berasal dari bahan yang tidak terpakai, seperti pelepah pisang, atau sampah organik lainnya. Tapi harga jualnya bisa begitun tinggi ketika dipasarkan di dua benua tersebut. Selain pelepah pisang, Siji juga membuat kerajinan dari bahan Resin, atau senyawa kimia yang dapat mengeras.
Berawal dari Kontrakan
Usai lulus kuliah, Achmad tertarik untuk memulai bisnis sendiri dengan mendatangi sejumlah pameran baik lokal maupun internasional. Kemudian dia mengontrak sebuah rumah dan memulai membuat produk pertamanya dari sana.
Bahan bakunya pun dia mengambilnya dari radius Yogyakarta dan Jawa Tengah, rata-rata adalah bahan yang tidak terpakai, seperti pelepah pisang, semua hasil produksinya adalah bahan yang ramah lingkungan.
"Bahan baku diambil dari radius Yogyakarta dan Jawa Tengah," Achmad kepada wartawan yang berkunjung ke kantornya di kawasan Bantul, Yogyakarta, belum lama ini.
Guna mencari pembeli, selain mendatangi sejumlah hotel, dia pun turut ambil bagian dalam sejumlah pameran. Bahkan, beberapa pamerannya dibantu oleh kementerian perdagangan dan kementerian keuangan hingga berhasil mendapatkan buyer atau pemasok untuk wilayah Eropa dan Amerika Utara.
"Target kami adalah middle up, salah satunya dengan mengikuti pameran dalam dan luar negeri," ungkap Achmad.
Kerja kerasnya pun membuahkan hasil nyata, bahkan dikenal sebagai produk kelas atas, pembelinya pun pemilik rumah mewah atau hotel-hotel berbintang.
Saat ini, Achmad memperkerjakan sekitar 70 orang karyawan. Selain itu, dia juga bekerja sama dengan mantan pekerjanya yang kini menjadi mitra binaan untuk menghasilkan produk serupa.
Para mitra binaan ini bahkan mempekerjakan para tetangganya sendiri, di mana masing-masing bisa memiliki 40 orang ibu rumah tangga. Secara hitungan, total pekerjanya tekag mencapai ratusan orang.
Dengan kekuatan tersebut, proses produksi dalam satu hari bisa mencapai 400 buah. Meski barang-barang yang dihasilkan memiliki tingkat kesulitan tinggi, namun memiliki kualitas yang sangat diakui oleh mitra-mitranya.
"Komitmen kami adalah sustainable. Mudah dikembangkan/tumbuh dalam community, serta empowerment. Kami sudah mengganti strategi, sekaligus memotivasi mereka yang kerja dari dalam, akhirnya bisa bekerja di rumah, justru mereka lebih enjoy," jelas Achmad.
dari semua produk yang dihasilkannya, dia mengaku salah satunya pernah mendapatkan harga sampai USD10 ribu di pasar Eropa. Angka tersebut cukup mengejutkan, mengingat modal kerjanya pun tidak sampai USD100.
"Kita membuat wall decor. Harga yang kita jual antara USD75-USD150, atau sekitar Rp5-25 jutaan. Tapi toko di Eropa bisa USD800 sampai USD900," papar Achmad.
Achmad meyakini kenapa para mitranya tersebut bisa memasarkan dengan harga yang tinggi, hal itu tak lepas dari merek yang dimiliki sudah cukup mahal.
"Bahkan ada buyer yang jual 10 kalinya," sahutnya.
Kini, omzet hasil penjualannya tersebut sudah mencapai ratusan juta rupiah.
Fokus Ekspor
Achmad sendiri mengakui saat ini bisnisnya lebih fokus untuk pasar internasional alias ekspor. Kondisi ini terjadi karena produknya cukup mahal, ditambah perbedaan tren yang sangat dominan.
"Kami dari awal sudah fokus ekspor, dari pengalaman potensi dalam negeri terbatas, daya beli dan style dari customer lokal beda. Jadi kenapa sasar AS dan Eropa, adalah karena kami menyasar kalangan menengah ke atas," ujarnya.
"Setiap benua itu berbeda, AS suka sekali dengan resin. Eropa suka dengan wall decor, dan mereka juga suka yang sustainable dan modern," ungkap Achmad.
Achmad kini juga mulai menatap 2024 untuk meningkatkan bisnisnya lebih luas lagi. Salah satunya dengan menjadi mitra Lembaga Pembiayaan Ekspor Impor atau Indonesia Eximbank.
Dari lembaga tersebut, Siji Lifestyle mendapatkan dukungan penuh berupa Coaching Program for New Exporter (CPNE) berupa pendampingan selama satu tahun penuhb guna meningkatkan kompetensi dan daya saing usaha.
Siji juga masuk ke dalam program Penugasan Khusus Ekspor (PKE) yang ditujukan bagi UKM berorientasi ekspor. Program ini dibiayai langsung oleh APBN dan diberikan dalam bentuk pembiayaan.
Tidak hanya itu, LPEI juga memberikan bantuan pinjaman sebesar Rp1,6 miliar kepada Siji Lifestyle untuk dapat berekspansi lebih luas lagi.
"Tantangan kita ke depan, dan apa yang kita lakukan adalah memperkenalkan produk melalui pameran-pameran internasional. Alhamdulillah saya dibantu oleh Kementerian Perdagangan untuk berpameran di Frankfut, dan sejumlah negara lain," tutup dia. (TYO)