ECONOMICS

Kilas Ekonomi-Politik Dunia 2023: Sikap The Fed, Krisis Perbankan AS, hingga Perang Israel-Palestina

Maulina Ulfa - Riset 22/12/2023 14:52 WIB

Sepanjang tahun ini, sejumlah sentimen makro membuat pasar global dan domestik bergejolak.

Kilas Ekonomi-Politik Dunia 2023: Sikap The Fed, Krisis Perbankan AS, hingga Perang Israel-Palestina. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Memasuki seminggu terakhir 2023, menarik untuk kembali melihat kilas ekonomi politik dunia sepanjang 2023. Sepanjang tahun ini, sejumlah sentimen makro membuat pasar global dan domestik bergejolak.

Mulai dari sikap The Federal Reserve (The Fed) yang hawkish dan meningkatnya suku bunga, ancaman krisis perbankan Amerika Serikat (AS) yang sempat muncul di awal tahun, hingga pecahnya perang  Israel-Palestina jelang akhir tahun yang membentuk 2023.

Sikap Moneter The Fed

Bank sentral AS Federal Reserve (The Fed) mempertahankan suku bunganya sebesar 5,5 persen pada Rabu (13/12/2023). Statista mencatat, sikap The Fed sepanjang tahun ini menggambarkan siklus pengetatan paling agresif dalam beberapa dekade.

Dengan suku bunga yang rendah secara historis setelah pandemi, The Fed telah mengambil tindakan yang sangat agresif untuk mengendalikan inflasi selama dua tahun terakhir.

Antara Maret 2022 dan Juli 2023, Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) menaikkan suku bunga target dana federal sebesar 525 basis poin dan menjadikan siklus pengetatan ini menjadi yang tercepat dalam empat dekade.

Sepanjang 2023 saja, The Fed sudah menaikkan suku bunga hingga 150 basis points (bps). (Lihat tabel di bawah ini.)

Jika dibandingkan, antara 2004 dan 2006, The Fed menaikkan suku bunga kebijakannya sebanyak 425 basis poin, namun selain itu, tidak ada siklus pengetatan lainnya dalam 40 tahun terakhir yang mampu mendekati siklus saat ini dalam hal cakupan dan kecepatan.

Pasca pertemuan Desember 2023, pemangkasan suku bunga The Fed diproyeksi mulai dilakukan pada Maret 2024 sebesar 25 bps hingga September 2024 dengan total 125 bps dan hingga Desember 2024 sebesar 150 bps hingga menjadi 3,75-4 persen.

Krisis Perbankan AS

Pada bulan Maret lalu, serangkaian kebangkrutan bank menyebabkan krisis perbankan terbesar dalam dua dekade terakhir. Hal ini terpotret dalam kegagalan First Republic Bank, Silicon Valley Bank (SIVB, Silvergate Bank, dan Signature Bank (SBNY) menjadi kegagalan bank terbesar kedua, ketiga, dan keempat dalam sejarah AS, bahkan melampaui skala kegagalan tahun 2008.

Keruntuhan perbankan ini berdampak besar di pasar dan menyebabkan terjadinya bank run alias penarikan deposit besar-besaran setelah bank tersebut menjual portofolio obligasi negaranya dengan kerugian besar dan menyebabkan kekhawatiran deposan terhadap likuiditas bank.

Obligasi tersebut telah kehilangan nilai yang signifikan karena suku bunga yang naik setelah bank tersebut mengalihkan portofolionya ke obligasi dengan jangka waktu lebih lama.

Nasabah berbagai bank ini sebagian besar adalah perusahaan teknologi dan individu kaya yang memiliki simpanan dalam jumlah besar. Namun saldo yang melebihi USD250.000 tidak diasuransikan oleh Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC).

Adanya krisis perbankan ini menyebabkan kepercayaan pasar terhadap sektor perbankan mengalami penurunan. Terlebih, pada Minggu (19/3/2023), The Fed bersama Bank Sentral Eropa (ECB) dan beberapa bank sentral besar lainnya mengumumkan koordinasi likuiditas internasional, dan mengakui adanya "ketegangan" di pasar finansial global.

Buntut dari krisis ini, lembaga pemeringkat kredit Moody's memangkas peringkat 10 perbankan kecil dan menengah di AS.

Krisis Properti China

Krisis properti China juga menjadi sentimen pasar yang cukup berpengaruh di sepanjang tahun ini. Kasus ini diawali dari pengembang properti raksasa China, Evergrande yang mengajukan restrukturisasi kebangkrutan pada Kamis (17/8/2023) setelah lebih dari dua tahun gagal membayar utangnya.

Adapun restrukturisasi kebangkrutan atau bankruptcy protection diatur berdasarkan Chapter 15 di pengadilan Amerika Serikat (AS).

Angka-angka suram sektor properti kembali datang karena pengembang real estat swasta terbesar di negara itu, Country Garden, berusaha untuk menunda pembayaran obligasi swasta untuk pertama kalinya. Keadaan ini menambah tekanan pada Beijing untuk turun tangan.

Country Garden ditaksir kemungkinan besar bakal menelan kerugian hingga USD7,6 Miliar atau setara Rp114,8 triliun (Kurs Rp15.118 per USD) selama periode enam bulan pertama tahun ini.

Sektor real estat sebelumnya pernah menjadi pilar ekonomi China dan kini telah mengalami penurunan penjualan, likuiditas yang ketat, dan serangkaian default pengembang sejak akhir 2021.

Krisis utang di sektor ini semakin dalam beberapa hari terakhir dengan semakin banyaknya pengembang swasta yang memulai proses restrukturisasi utang di tengah meningkatnya seruan agar Beijing meluncurkan stimulus untuk menopang sektor yang menyumbang sekitar seperempat ekonomi negara tersebut.

Perang Israel-Palestina

Serangan yang dilancarkan kelompok pejuang pembebasan Palestina, Hamas, kepada Israel pada Sabtu (7/10/2023), menyebabkan gejolak di pasar saham maupun komoditas global.

Tensi geopolitik Timur Tengah juga memanas akibat serangan ini. Awal mula konflik pecah saat pejuang Hamas melancarkan invasi yang belum pernah terjadi sebelumnya melintasi perbatasan selatan Israel dengan Gaza, menyerbu kota-kota Israel dan membunuh tentara Israel dan warga sipil.

Ribuan roket ditembakkan ke wilayah Israel, dan menyebabkan setidaknya 100 warga Israel tewas. Seorang pejabat senior Knesset mengatakan serangan tersebut menyebabkan kematian warga sipil terbanyak dalam satu hari sepanjang sejarah negara tersebut.

Pertempuran di Israel selatan masih berlangsung, dengan laporan bahwa Hamas membawa sandera Israel kembali ke Gaza. Serangan udara balasan Israel telah menewaskan hampir 200 warga Palestina, jumlah yang mungkin akan terus bertambah.

Pecahnya konflik geopolitik ini menyebabkan pasar langsung bereaksi keras. Harga minyak melonjak lebih dari USD4 per barel di awal perdagangan Asia pada Senin (9/10).

Tak hanya minyak, emas sempat melonjak 1 persen menjadi sekitar USD1.850 per ounce. Kenaikan emas juga memperpanjang kenaikan dari sesi sebelumnya seiring berlanjutnya konflik Israel-Hamas hingga hari ketiga. Saham-saham berjangka AS juga jatuh karena konflik yang meletus di Timur Tengah ini.

Tak hanya itu, pecahnya perang Israel-Palestina juga mendorong wacana boikot terhadap sejumlah produk.

Beberapa negara dengan mayoritas Muslim melakukan boikot terhadap brand-brand yang mendukung Israel. Hal ini dilakukan untuk menyampaikan pesan bahwa mereka mengkritik serangan Israel yang membabi buta terhadap warga Palestina di Gaza.

Sejumlah brand ini cukup terkenal dan ada dalam kehidupan sehari-hari seperti Starbucks, McDonald, Netflix, Pepsi, KFC, hingga Disney.

Secara terbuka brand-brand ini menyatakan dukungannya terhadap Israel dan serangan militer mereka ke Palestina.

Beberapa perusahaan besar dunia ini juga menghadapi penurunan harga saham yang signifikan akibat dari aksi boikot terkait dukungan mereka terhadap Israel.

Kampanye boikot terhadap perusahaan-perusahaan yang mendukung pendudukan Israel telah berdampak negatif pada harga saham beberapa perusahaan besar di Wall Street.

Mengutip laporan Daily News Egypt (26/10/2023), kampanye boikot yang dimulai sejak 10 Oktober di kalangan pengguna media sosial, berdampak pada saham perusahaan yang memiliki waralaba di negara-negara Arab atau memberikan sumbangan besar ke Israel.

Kenaikan Kasus Covid-19

Kenaikan kasus Covid-19 terjadi menjelang akhir tahun ini. Berdasarkan data di situs Infeksi Emerging Kementerian Kesehatan (Kemenkes), kasus Covid-19 di Indonesia masih naik sampai sepekan menjelang Natal 2023.

Sebelumnya, sepanjang November 2023 hanya ada penambahan sekitar 7—40 kasus konfirmasi Covid-19 per hari secara nasional. Kemudian pada awal Desember 2023 angkanya naik hingga melampaui 100 kasus per hari. Memasuki periode 12-17 Desember 2023 penambahan kasus kembali terjadi di kisaran 200—350 kasus per hari.

Menurut Ditjen P2P, kenaikan kasus Covid-19 pada Desember 2023 juga terjadi di sejumlah negara tetangga, seperti Singapura, Filipina, dan Malaysia. Kenaikan kasus di dalam negeri didominasi subvarian Omicron XBB 1.5, yang juga menjadi penyebab gelombang infeksi Covid-19 di Eropa dan AS.

Saham emiten kesehatan, farmasi hingga rumah sakit (RS) sempat mencuri panggung akhir-akhir ini karena seolah mengulang memori 2020-2021, ketika pagebluk Covid-19 merebak.

Menanggapi naiknya kasus Covid-19 jelang akhir tahun, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga telah mengklasifikasikan virus Covid-19 varian JN.1 sebagai variant of interest yang pertama kali terdeteksi di AS pada September. Lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tersebut menyatakan risikonya terhada kesehatan masyarakat saat ini masih rendah.

Beberapa ahli menjelaskan kepada Reuters bahwa meskipun JN.1 dapat menghindari sistem kekebalan tubuh dan menular dengan lebih mudah, varian ini relatif tidak menyebabkan penyakit yang lebih parah.

JN.1 sebelumnya diklasifikasikan sebagai variant of interest sebagai bagian dari garis keturunan varian BA.2.86, tetapi WHO sekarang telah mengklasifikasikannya sebagai variant of interest secara terpisah.

WHO mengatakan vaksin yang ada saat ini dapat melindungi dari penyakit parah dan kematian akibat JN.1 dan varian Covid-19 lainnya yang beredar.

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) mengatakan awal bulan ini bahwa sub-varian JN.1 mencakup sekitar 15 persen hingga 29 persen kasus di Amerika Serikat (AS). CDC mengatakan saat ini tidak ada bukti bahwa JN.1 menghadirkan peningkatan risiko terhadap kesehatan masyarakat dibandingkan dengan varian lainnya. (ADF)

SHARE