Kinerja Ekspor RI Diperkirakan Tertahan pada 2026, Tarif Trump hingga Harga Komoditas Jadi Pemicunya
Penurunan ekspor Indonesia ke pasar AS sudah terlihat sepanjang Agustus dan September 2025.
IDXChannel - Pertumbuhan ekspor Indonesia pada 2026 diperkirakan sedikit tertahan akibat implementasi penuh kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat (AS) dan menurunnya harga komoditas energi, khususnya batu bara dan minyak mentah.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, penurunan ekspor Indonesia ke pasar AS sudah terlihat sepanjang Agustus dan September 2025, dibandingkan dengan bulan-bulan sebelum tarif efektif berlaku per Agustus.
"Hal ini mengindikasikan, penerapan tarif resiprokal Trump membuat importir AS mulai mengurangi pesanan dari produsen Indonesia (first-round effect)," ujar Faisal dalam Brief Report CORE Economic Outlook 2026, Kamis (27/11/2025).
Kendati secara agregat per Januari–September 2025 ekspor Indonesia ke AS meningkat 20 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Hal ini dinilai sebagai efek sesaat dari aktivitas front-loading.
"Dengan kata lain, kenaikan ekspor Indonesia ke AS tahun ini tampak lebih sebagai gambaran yang artifisial
ketimbang dorongan fundamental dari aktivitas ekonomi di dalam negeri," ujarnya.
Selain dampak langsung berupa potensi penurunan ekspor (first-round effect), tarif juga membawa efek lanjutan (second-round effect) berupa kenaikan impor.
Data agregasi impor sepanjang Januari-September 2025 memang hanya meningkat 3 persen secara tahunan, tetapi impor Indonesia dari China meningkat drastis 20 persen.
Pada 2026, nilai impor dari China diperkirakan semakin tinggi seiring upaya diversifikasi pasar keluar dari AS. Selain itu, China juga berkepentingan menyelesaikan masalah kelebihan output industri manufaktur yang tidak terserap oleh pasar domestik akibat melemahnya konsumsi rumah tangga.
Menurunnya Harga Komoditas Energi
Kinerja ekspor pada 2026 juga akan dipengaruhi oleh potensi menurunnya harga komoditas energi, khususnya batu bara dan minyak mentah.
Bank Dunia memproyeksikan, harga batu bara pada 2026 akan mencapai USD100 per ton, atau 7 persen lebih rendah dari rata-rata harga batu bara sepanjang Januari-Oktober 2025 (USD108 per ton).
"Tergelincirnya harga batu bara tahun depan diperkirakan karena kelebihan suplai di pasar internasional, sementara permintaan cenderung mengendur karena kebijakan transisi energi," ujar Faisal.
Harga minyak mentah diperkirakan berada di level USD60 per barel pada 2026 khususnya Brent, atau 12 persen lebih rendah dari harga proyeksi tahun ini sebesar USD68 per barel.
Merosotnya harga minyak mentah, terutama disebabkan oleh kelebihan pasokan dari produsen utama minyak mentah global, OPEC+, dan tumbuhnya produksi minyak AS.
Pada saat yang sama, proyeksi ekonomi global yang terus menurun menurunkan permintaan terhadap konsumsi minyak mentah di pasar global.
Kendati demikian, di sisi lain, proyeksi naiknya harga komoditas pertanian, terutama kelapa sawit dan minyak kelapa, berpotensi menjaga kinerja ekspor Indonesia pada 2026.
Harga kelapa di sepanjang Januari-Oktober 2025 berada di level USD1.013 per ton atau 10 persen lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun 2024. Sementara pada 2026, Bank Dunia memproyeksikan harga kelapa sawit akan mencapai USD1.051 per metrik ton, atau naik 4 persen dibandingkan rata-rata harga 2025.
Kenaikan harga minyak kelapa sawit terutama disebabkan dari sisi suplai, relatif terbatasnya produksi kelapa sawit Indonesia karena stagnasi produksi akibat lambatnya program peremajaan pohon (replanting), dan faktor cuaca yang mempengaruhi rendahnya produksi kelapa sawit di Malaysia.
Namun, rencana penerapan B50 juga menyebabkan pasar berspekulasi.
"Kemungkinan besar, jika B50 jadi diterapkan pada 2026, Indonesia akan sedikit menahan ekspor untuk memenuhi pasokan domestik," ujarnya.
(NIA DEVIYANA)